Tidak berlebihan jika saya mengatakan bahwa para “cheerleaders Arab” atau “Arab KW” di Indonesia itu gagal paham dan gagal total dalam menyikapi fenomena perkembangan masyarakat Arab modern di Timur Tengah.

Yang saya maksud dengan “Arab KW” disini adalah orang-orang non-Arab yang meniru-ninu “dandanan”, “gaya hidup”, sikap, atau “pola pikir” yang mereka imajinasikan sebagai Arab. Meskipun “dalihnya” mereka bilang “nyunah rasul”, prakteknya sebetulnya “nyunah imagined” Arab.

Saya katakan “imagined Arab” atau masyarakat Arab yang diimajinasikan karena apa yang mereka praktekkan dalam banyak hal bertolak-belakangan dengan fakta-fakta perkembangan masyarakat Arab kontemporer.

Simak misalnya dalam hal bahasa yang digunakan dalam pergaulan sehari-hari, kenapa harus serba Arab: abi-umi, akhi-ukhti, ikhwan-ikhwat, ane-ente (oh yang terakhir ini “Arab Betawi” he he). Bukan hanya soal ngomongnya tetapi juga soal “fanatisme Bahasa Arab”-nya.

Lebih konyol lagi anggapan penggunaan Bahasa Arab dalam berbagai sapaan salam, ucapan selamat, ulang tahun, dan perayaan lainnya dipandang lebih Islami serta menganggap penggunaaan bahasa non-Arab, apalagi Bahasa Inggris dan bahasa-bahasa daerah di Indonesia, dianggap “bahasa kafir” yang tidak islami.

Padahal masyarakat Arab modern adalah masyarakat yang sangat adaptif dengan aneka bahasa asing. Bahkan Bahasa Inggris dan Perancis telah menjelma menjadi “bahasa kedua” di sejumlah negara Arab baik karena tuntutan zaman yang berkembang pesat atau karena ikatan dengan sejarah kolonialisme.

Dalam hal berpakaian juga begitu. Berbeda dengan para “Arab KW” yang “unyu-unyu” dan “fanatik berjubah”, masyarakat Arab modern sangat fleksibel, modis, dan adaptif dalam hal berpakaian. Pakaian non-jubah dalam kehidupan sehari-hari sudah sangat biasa buat mereka.

Yang masih ketat dalam pemakaian jubah biasanya adalah orang-orang tua atau mereka yang tinggal di kawasan pedalaman. Gamis buat masyarakat Arab modern hanyalah sebuah tradisi dan kebudayaan Arab, hanya “selembar kain” buatan manusia dan tidak ada sangkut-pautnya dengan kualitas keimanan-keislaman.

Pula, tidak seperti para “Arab KW” yang anti kebudayaan Barat, masyarakat Arab modern adalah “sangat Barat”: “sangat Amerika”, dan “sangat Eropa”. Mereka menganggap Barat, khususnya Amerika Utara dan Eropa Barat, adalah simbol kemajuan di dunia pendidikan, peradaban, dan teknologi khususnya karena itu mereka berlomba-lomba menyekolahkan anak-anak mereka ke kampus-kampus beken di Barat.

Melalui beasiswa King Abdullah Scholarship Program saja sudah lebih dari 150,000 anak-anak muda Saudi dikirim ke kampus-kampus top di Barat (catat ya: tidak ada satupun yang dikirim ke Indonesia!) untuk belajar dari S1-S3. Saya juga membimbing sejumlah mahasiswa Saudi yang mau melanjutkan studi di Amerika.

Masih banyak lagi contoh lainnya, capek kalau ditulis semua disini. Jadi, lu pade para “Arab KW”, paham kagak ente?

Artikulli paraprakFigur-Figur yang Layak Memimpin Jakarta
Artikulli tjetërHargailah Tata-Cara Berbusana Orang Lain
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini