Muridku dari Jeddah bernama Sayyid Muhammad Zainy yang masih keluarga habib (sayyid) karena keturunan Nabi Muhammad dari jalur Ali Zainal Abidin bin Hussain mengisahkan kepadaku pengalaman keluarganya dan masyarakat Saudi pada umumnya tentang hal-ikhwal bertata-busana.

Ia dan keluarganya mengaku sebagai Sunni bermazhab Syafii yang merupakan mayoritas mazhab di kawasan Hijaz (Jedah, Madinah, dan Mekkah) di ujung barat Arab Saudi.

Menurutnya di Saudi hanya pengikut mazhab Hanbali saja yang ketat dalam masalah berpakaian, khususnya buat perempuan. Mazhab-mazhab fiqih lain sangat fleksibel. Apalagi mazhab Hanafi yang sangat rasional dalam merumuskan kaidah, teori, dan produk-produk hukum Islam.

 Dalam hal berpakaian buat perempuan ini hanya Imam Hanbali (yang kemudian diikuti oleh sejumlah pengikutnya termasuk Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab, pendiri “Wahabisme”) yang mengharuskan perempuan Muslimah harus “brukut” dalam berpakaian, bukan hanya badannya tapi mukanya juga harus ditutup.

Menurut Imam Syafii, katanya, tidak perlu menutup muka dan tangan, cukup berjilbab. Sementara Imam Hanafi tidak mewajibkan berjilbab meski tidak melarangnya. Itu menurutnya, saya antropolog bukan ahli fiqih atau spesialis Islamic studies jadi bukan tugasku untuk mengecek pernyataan para imam itu.

Karena Hanbali menjadi “mazhab negara” di Saudi, maka tidak heran jika banyak perempuan Saudi yang menutup muka dengan niqab, burqa, dan lain sebagainya, khususnya di daerah-daerah basis pengikut Imam Hanbali. Sementara kawasan-kawasan non-Hanbali seperti Hijaz, banyak perempuan yang tidak berniqab.

Dia menambahkan kalau pemerintah Saudi hanya mewajibkan perempuan memakai jilbab, bukan niqab atau burqa. Yang terakhir ini dianggap sebagai “adat Arabia” bukan “norma keagamaan”.

Keluarganya sendiri katanya juga tidak pernah memakai niqab. Bahkan kalau sedang bepergian liburan keluarga besarnya di Dubai (Uni Emirat Arab) dan tempat-tempat lain banyak yang melepas jilbab dan abaya diganti dengan jins, kaos, dan lain sebagainya.

 Kalau mau mudik ke Saudi, mereka baru ganti lagi pakaiannya dengan abaya dan jilbab. Menurutnya, bukan hanya keluarganya saja yang melakukan praktek “pindah mazhab pakaian” seperti ini, yang lain-lain juga begitu…

Artikulli paraprakHijab Kristen dan Yahudi
Artikulli tjetërKaum Intelek-Moderat, Bersuaralah!
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini