Beragama itu seharusnya atau idealnya membuat pemeluknya menjadi lebih melek, cerdas dan toleran, bukan malah tambah picik, bebal dan intoleran. Tetapi, sejumlah pemeluk dan kelompok agama—lantaran memiliki semangat fanatisme yang berlebihan (“hiper-fanatisme”)—terkadang berpikiran dan bertindak layaknya orang-orang dungu dan bebal. Hiper-fanatisme memang 11-12 dengan kebebalan.

Klaim-klaim sejumlah kaum zealot dan fanatik seperti tanah Betawi, Minang, Aceh, Melayu atau Arab sebagai “Tanah Islam” dan dengan begitu orang Betawi, Minang, Aceh, Melayu atau Arab yang bukan Muslim dianggap “menyalahi kodrat Tuhan” dan karenanya, harus “minggat” (diusir) dari daerah-daerah ini hanyalah sekelumit contoh dari kebebalan dan intoleransi itu.

Hal ini sama persis dengan klaim-klaim sejumlah kelompok Kristen fanatik dan “Islamophobis” di Barat, Amerika khususnya, yang menganggap Barat adalah “Tanah Kristen” dan karena itu kaum Muslim harus enyah dari Barat.

Apakah kalian lupa bahwa Betawi, Minang, Melayu, Aceh, Arab atau Barat sudah ada sebelum lahirnya Islam atau Kristen? Bukankah Islam, Kristen atau agama apapun pada hakekatnya adalah “para tamu” di negeri-negeri ini yang seharusnya “menghormati” tuan rumah?

Tugas utama kaum Muslim (atau umat agama manapun) bukanlah untuk mengislamkan atau mengagamakan orang lain. Tugas umat beragama bukanlah untuk menghimpun pengikut sebanyak-banyaknya.

Bukan pula untuk membangun tempat ibadah sebanyak-banyaknya. Saya yakin dan percaya, Tuhan tidak membutuhkan pengikut dan tempat ibadah. Saya juga percaya bukan tempat-tempat ibadah yang megah atau pengikut agama yang membeludak yang membuat Tuhan “bahagia”.

Tugas utama agama, tidak lain dan tidak bukan adalah untuk berpartisipasi dan berkontribusi memperbaiki moralitas manusia yang jahat, korup dan serakah, merestorasi jalan pikiran manusia yang picik dan bebal, mengubah sikap-sakap manusia intoleran menjadi toleran yang sadar dengan keanekaragaman masyarakat dan budaya dan seterusnya.

Singkatnya, kehadiran agama adalah untuk “menyulap” dan menolong umat manusia dari “alam kegelapan” menuju “alam yang terang-benderang” penuh pencerahan dan sikap ramah terhadap umat manusia dan alam sekitarnya. [SQ]

Artikulli paraprakPindah Agama Tak Semata Hidayah atau Roh Kudus
Artikulli tjetërRepotnya Jika Beragama dengan Hidung
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini