Kenapa ada “burung gereja”, tetapi tidak ada “burung masjid”? Konon, “burung gereja” itu dulunya adalah “burung masjid”. “Burung masjid” ini “pindah agama” jadi “burung gereja” setelah ketakutan menyaksikan kekerasan di masjid-masjid.
Ceritanya bermula dari tradisi sunat atau khitan di kampung-kampung bagi laki-laki yang dilakukan di halaman-halaman masjid, mushalla, atau rumah yang mempunyai hajatan. Ritual khitan ini disaksikan oleh warga kampung: laki-perempuan, tua-muda.
Zaman dulu adanya cuma “dukun sunat”, belum ada dokter sunat. Si anak yang mau disunat didudukin di kursi. Matanya ditutup dengan sarung yang ia pakai sehingga warga bisa dengan jelas menyaksikan potongan kelamin si anak yang biasanya sudah remaja.
Sang dukun biasanya menggunakan pisau tajam mengkilat untuk memotong kulit di ujung kelamin itu. Setelah dipotong, darah mengalir menggiriskan yang membuat sang anak yang disunat meraung-raung kesakitan karena belum ada obat bius.
Ternyata drama menegangkan ini tidak hanya disaksikan oleh warga desa, tapi juga oleh “burung-burung masjid” tadi. Dalam benak, mereka berpikir, “Burung-burung orang saja dipotong, apalagi saya”. Karena ketakutan, akhirnya ia memilih kabur pindah ke gereja-gereja karena aman tidak ada tradisi sunat dalam Kristen.
Alhamdulilah, ya. Jangankan burung, saya saja dulu ketakutan dan memilih menunda ritual sunat sampai menjelang lulus kelas 3 MTs (SMP) he he. Begitulah kisah singkat awal mula “burung gereja” ini.
Jadi, “pindah agama” memang bukan semata-mata soal “hidayah” atau “roh kudus”, tetapi sangat kompleks. Ada banyak faktor duniawiah yang turut memberi kontribusi pada konversi agama seseorang: bisa karena pacar yang beda agama, desakan mertua, kemiskinan, konflik organisasi, politik-ekonomi, atau bahkan lantaran ketakutan dan trauma menyaksikan horor kekerasan para pelaku agama dan kelompok radikal-ekstrimis, dan sebagainya. [SQ]