Label “kafir” itu lebih bernuansa politis ketimbang teologis karena kebebasan beragama ini digaransi dalam Islam. Teks al-Qur’an sangat jelas: “Tidak ada pemaksaan dalam beragama” (la ikraha fi al-din). Non-Muslim itu bukan “kafir”. Mereka hanya beda agama, bukan beda iman. Baik Muslim maupun kelompok teis non-Islam memiliki keimanan yang sama terhadap “Tuhan alam”—Supernatural Being (apapun nama-Nya).
Jika ada sejumlah teks keislaman yang mengkafirkan non-Muslim (baik Kristen, Yahudi, maupun suku-suku di Makkah dan Jazirah Arab.ada umumnya) itu pasti dalam konteks politik. Yakni, kelompok itu menentang dan melawan “misi kenabian” Nabi Muhammad bukan lantaran mereka memeluk agama non-Islam karena buat “Tuhan Islam” (Allah Swt) seperti tersurat dan tersirat dalam al-Quran tidak penting umat manusia mau memeluk Islam atau bukan.
Ingat: misi besar Nabi Muhammad Saw di dunia ini bukan untuk mengislamkan umat manusia tetapi untuk menyempurnakan akhlak orang-orang yang bejat dan korup. Jika non-Muslim itu “kafir” dan dengan begitu “musuh Islam” tentu Nabi Muhammad tidak menjalin hubungan baik dengan tokoh politik dan agama non-Muslim. Tetapi kenyataannya tidak.
Sejarah telah mencatat misalnya, beliau beserta para sahabat pernah berlindung dan dilindungi oleh Ashama Ibn Abjar atau Najashi, Raja Askum (kini Ethiopia) yang Kristen dari kejaran para “begundal Makkah” kala itu pimpinan Abu Jahal (juga Abu Sofyan). Lantaran jasa baik dan pandangan positif beliau dan para pendeta Kristen Ortodoks Ethiopia terhadap Islam, Nabi Muhammad menyerukan untuk terus berbuat baik dan menjalin relasi positif dengan mereka serta melarang memerangi kelompok Kristen ini.
Didorong oleh watak terbuka dan toleran Islam, para ulama juga banyak yang tidak memberi status kekafiran terhadap kaum teis non-Muslim, bukan hanya agama-agama sesama dari “rumpun Semit” seperti Kristen dan Yahudi tetapi juga agama-agama non-Semit seeprti Hindu, Buda, Jainisme dan sebagainya.
Jadi, sekali lagi, status kafir itu sangat politis bukan teologis. Sebab politis, maka sejumlah tokoh Muslim (baik tokoh agama maupun politik) berselisih dalam hal kafir-mengkafirkan ini. Dulu para ulama Saudi-Wahabi mengkafirkan rezim Turki Usmani atau Ottoman (meskipun Muslim) karena dianggap sebagai penjajah Arabia.
Sementara Inggris yang jelas-jelas Kristen malah tidak dikafirkan karena mereka membantu Saudi menghalau tentara Ottoman dari Arabia. Imam Khomeini dan pengikutnya, baik di Iran maupun bukan, mengkafir-kafirkan Amerika atau Israel tetapi tidak pada rezim-rezim Komunis Uni Soviet (atau Russia) atau China.
Kenapa? Anda tahu sendirilah jawabannya. Para tokoh Islam di Ambon dan Maluku dulu mengkafir-kafirkan Belanda tetapi tidak pada Jepang. Sebab, Jepang dinilai membantu pendirian “Laskar Islam” untuk melawan Belanda.
Jadi, jika sekarang kalian melihat ada sejumlah tokoh Muslim di Jakarta dan Indonesia pada umumnya yang mengkafir-kafirkan Ahok, misalnya, diketawain saja. Anggap saja mereka sedang mengigau karena sedang ketakutan melewati kuburan tua yang angker. Mereka panik dan takut kalau Ahok kelak akan “mencekik” mereka. [SQ]