Selamat pagi (waktu Saudi) “murid-murid”. Hari ini “cikgu” mau melanjutkan “Kuliah Virtual” sebelumnya yang berjudul “China: Partner Strategis Negara-Negara Arab Teluk” (bagi yang “mbolos sekolah” dan belum sempat baca postingan ini, silakan dibaca dulu).
Seperti saya jelaskan, dulu, pada zaman “Perang Dingin” antara “Blok Kapitalis” Amerika melawan “Blok Komunis” Uni Soviet memang hubungan antara negara-negara Arab Teluk (Saudi, Qatar, Uni Emirat Arab, Kuwait, Bahrain, dan Oman) dengan PRC (Republik Rakyat China) juga ikut “dingin” dan membeku karena PRC ngeblok Soviet, sedangkan negara-negara Arab Teluk ngeblok Ngamirika.
Tapi itu dulu mas bro dan mbak sis. Sekarang zaman sudah berubah: Soviet sudah jadi almarhum, PRC (China) sudah menjadi “negara gado-gado” setengah komunis dan setengah kapitalis. Bahkan sejak beberapa dekade silam, China atau Tiongkok lebih mengutamakan ekonomi dan kemajuan negara/rakyat ketimbang masalah ideologi.
Pelan tapi pasti, sikap negara-negara Arab Teluk atau biasa disebut GCC (Gulf Cooperation Council) juga berubah. Jika sebelumnya, mereka emoh membangun hubungan diplomatik dengan PRC, maka sejak pertengahan 1980-an, mereka mulai membuka diri dengan “Negeri Panda”. Pada tahun 1984, Uni Emirat Arab membuka hubungan diplomatik dengan China, Qatar menyusul pada tahun 1988, Bahrain pada 1989, lalu Saudi pada 1990.
Meskipun awalnya hubungan bilateral kedua negara (baik hubungan diplomatik “G to G” maupun relasi dagang “D to D”) masih “malu-malu kucing”, kini hubungan antara kedua kawasan ini (lagi, baik di jalur diplomatik mapun bisnis) sudah sangat terbuka dan terang-terangan berdasarkan azas simbiosis mutualisme. Sekarang “onta” dan “panda” saling berpelukan mesra.
Para petinggi dari kedua kawasan saling berkunjung dan menyambangi dengan hangat (silakan baca postinganku sebelumnya). Hasilnya luar biasa: hubungan ekonomi GCC-China saat ini jauh melebihi relasi antara RRI (Republik Rakyat Iran) dan RRC (Republik Rakyat China) yang sudah sejak lama menjalin hubungan mesra.
Pada tahun 2012 saja, perdagangan GCC-China mencapai $155 Milyar (bandingkan dengan Iran-China yang cuma $37 Milyar). Dalam satu dekade ke depan, GCC-China menargetkan $350 Milyar dalam investasi dagang. China sendiri, dalam satu dekade terakhir ini, merupakan eksportir terbesar (mengalahkan AS) untuk GCC dengan total ekspor senilai $60 Milyar per tahun. Sementara itu, China mengimpor minyak mentah dari GCC lebih dari 25% kebutuhan di negaranya (sedangkan impor minyak dari Iran hanya 9% saja).
Kerja sama bisnis saling menguntungkan itu dilakukan di hampir semua sektor: energi, pertambangan (perminyakan), infrastruktur, konstruksi, telekomunikasi, tekstil, transportasi, aerospace, keuangan, dlsb. Perusahan-perusahan raksasa di kedua kawasan saling berinvestasi dan membuka cabang di GCC dan PRC.
Awal tahun lalu, Presiden Xi Jinping kembali mengadakan lawatan ke Saudi (sebagai “bos” GCC) seperti foto di bawah ini (courtesy: Middle East Institute, Washington, DC) dan mengadakan pertemuan dengan Sekjen GCC, Abdul Latif bin Rasyid al-Zayani, untuk kembali memantapkan hubungan bisnis dan partnership PRC-GCC. Tahun sebelumnya, Presiden GCC Hamad bin Isa al-Khalifa yang juga Raja Bahrain, juga mengadakan lawatan ke China untuk memantapkan hubungan bilateral PRC-GCC. Dalam kunjungannya ke Saudi ini, Presiden Xi ditemani oleh sejumlah elit pejabat PRC seperti Yang Jiechi, Wang Huning, Li Zhanshu, dlsb.
Kerjasama positif-konstruktif PRC dengan GCC (dan juga Timur Tengah secara umum) ini dilakukan di bawah platform dan strategi “One Belt, One Road” yang diinspirasi oleh filosofi kuno Tiongkok Tai Chi yang menekankan pada keseimbangan Yin dan Yang sebagai pembentuk Tao. Bagimana kisah selanjutnya hubungan mesra mereka? Faktor-faktor mendasar apakah yang mendasari hubungan mesra mereka yang dulu begitu “dingin” kini menjadi “hangat”?
Bersambung lagi ya? Ayo nyusu lagi biar tambah gede dan tambah pinter, tidak “osang-aseng”, “komunas-komunis” melulu. Basi tahu. [SQ]