Saya perhatikan banyak orang salah-paham dan gagal-njegal memahami berbagai tulisan dan postinganku selama ini, khususnya yang berkaitan dengan Ahok, sampai-sampai ada yang menuduh saya “buzzer” Ahok, timses Ahok, sekutu aseng-kapir, dlsb. Bahkan tidak sedikit yang bicara ngawur seenak jenggotnya sendiri kalau saya dibayari Ahok dan timnya. Kalau Anda menuduhku seperti itu, berarti Anda tidak kenal saya.

Saya jelaskan sekali lagi, saya melakukan dukungan dan pembelaan terhadap Ahok itu adalah sukarela dan “dorongan akademis” bukan karena dibayari atau diiming-imingi sesuatu. Lagi pula, saya tidak kenal Ahok apalagi bertemu dan “selpi” dengannya. Saya tidak butuh semua itu karena hidupku sudah cukup bahagia apalagi saya bukan tipe orang “glamour” dan serakah yang hobi memupuk kekayaan dan berfoya-foya. “Harta karunku” cuma buku. Saya sudah bahagia kalau sudah makan pakai tempe, ikan, kerupuk, semur jengkol he he. Murah-meriah.

Sampai sekarang saya tidak punya mobil (meskipun kalau mau saya bisa membelinya, tentu saja bukan yang mobil mewah ala “ustad seleb” itu) dan memang tidak bisa nyetir mobil. Saya juga tidak bermimpi ingin punya “villa mewah” dan tetek-bengek lainnya karena sama sekali tidak berminat (meskipun kalau saya mau, saya tidak bisa membelinya he he).

Uang gajiku selama ini, baik waktu kerja di Amerika, Singapore, dan Saudi, tidak saya nikmati sendiri atau “inpestasi” atau apalah istilahnya, tetapi selalu saya bagi-bagi dan berikan untuk biaya hidup dan kebutuhan orang tua dan saudara-saudara, biaya sekolah dan kuliah keponakan-keponakan, beasiswa ke sejumah siswa, serta untuk membangun rumah orang tua dan saudara dan tempat ibadah di kampung. Untuk apa memupuk uang dan kekayaan karena kita semua akan meninggal?

Jelasnya, saya membela Ahok bukan karena persoalan material sama sekali bukan. Tetapi lebih pada persoalan intelektual-spiritual.

Saya membela Ahok bukan karena ia seorang “aseng-kapir” atau China-Kristen tetapi karena integritasnya. Saya sudah bilang, jika saya semata-mata membela “aseng-kapir”, coba Eddy Tansil alias Tan Tjoe Hong suruh nyalon, nanti saya siapkan “bom panci” untuknya. Ngumpet dimana dia sekarang? Jangan-jangan lagi umroh? he he

Saya bahkan “tidak membela Ahok” tetapi membela hak-hak politik Ahok sebagai warga negara yang memiliki hak yang sama dengan etnis dan agama apapun di Negara Indonesia.

Saya membela Ahok karena ia menjadi korban sindikat politik-agama yang keji, jorok, biadab, dan kotor-njetor penuh rasisme dan etnosentrisme yang jika dibiarkan akan membahayakan tatanan dan fondasi kebangsaan dan kenegaraan.

Saya membela Ahok bukan karena membela “minoritas” tetapi membela rasa keadilan dan kemanusiaan yang sudah digadaikan dan dilacurkan oleh sejumlah politisi, agamawan, dan tukang dagang gemblung yang masya Allah serakahnya.

Siapapun Anda, apapun etnis dan agama Anda, jika mengalami nasib seperti Ahok, akan saya bela. Siapapun Anda, apapun etnis dan agama Anda, jika bersikap intoleran, tukang bikin onar dan kekerasan serta anti-pluralisme, kebhinekaan, dan kebangsaan, pasti akan saya lawan! [SQ]

Artikulli paraprakIslam dan Masalah Kebersihan Lingkungan: Catatan “Antropologi Haji” (5)
Artikulli tjetërSejarah Islam di Tiongkok
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini