Salah satu yang saya perhatikan dengan seksama pada waktu menjalani ritual haji di Makah adalah kebiasaan (sebagaian) warga Muslim yang membuang sampah sembarangan sehingga area-area utama ibadah haji (seperti Mina, Arafah, Muzdalifah, dlsb) pada saat musim haji menjelma menjadi semacam lautan atau gunungan sampah yang berserakan dimana-mana. Sungguh disayangkan.

Pemerintah Saudi sebetulnya sudah berusaha cukup maksimal dengan mengerahkan ribuan “pasukan hijau-kuning” dan ratusan truk untuk mengangkut sampah. Pemerintah juga menyediakan ribuan tong-tong sampah di setiap lorong. Tetapi, tidak tahu kenapa, tetap saja ada banyak warga Muslim yang ceroboh dan membuang sampah sembarangan seenak perutnya sendiri. Ribuan botol air mineral, kaleng minuman, plastik, sisa-sisa makanan, dlsb mengotori “tempat-tempat suci” di Makah.

Katanya, “kebersihan adalah bagian dari iman”? Mana? Umat Islam sibuk “membersihkan dosa” tetapi tidak peduli dengan kebersihan lingkungan dan alam sekitar. Padahal, menjaga kebersihan, kelestarian, dan kesehatan lingkungan juga diamanatkan dalam Islam, Al-Qur’an, Hadis dan teks-teks klasik keislaman. Tetapi sepertinya (sebagian) kaum Muslim belum mengapresiasi masalah-masalah fundamental yang tidak ada sangkut-pautnya dengan dunia akhirat, dengan urusan surga-neraka.

Bagi sebagaian besar umat beragama, ibadah itu ya melakukan ritual-ritual tertentu seperti salat atau sembahyang, doa, puasa, dlsb, atau membangun gereja atau masjid atau tempat-tempat ibadah lain. Singkatnya, segala hal-ihkwal untuk “membahagiakan Tuhan” itu ibadah. Sementara hal-ihwal untuk “membahagiakan manusia” bukan dinilai sebagai ibadah meskipun sebetulnya masalah alam-kemanusiaan itu juga menjadi bagian penting dalam agama dan kitab-kitab keagamaan.

Mayoritas ayat-ayat dalam Al-Qur’an misalnya berisi pesan-pesan moral kemanusiaan dan mandat untuk menjaga dan merawat alam semesta beserta isinya, buka tentang surga-neraka, alam kubur, bidadari-malaikat, dlsb. Karena itu saya sering menyebut Al-Qur’an itu sangat “antroposentris” atau “sangat humanis”. Manusia (umat Islam) saja yang membuatnya menjadi “teosentris” dan seolah-seolah “tidak humanis” atau jauh dari nilai-nilai kemanusiaan.

Tapi ya itu, umat beragama belum menganggap masalah kemanusiaan, kebersihan lingkungan, dan pelestarian alam-semesta sebagai sesuatu yang penting dan bagian integral dari keimanan, akibatnya “budaya jorok” sudah biasa dipraktekkan oleh umat beragama. Idealnya, bukan hanya hati dan pikiran yang “dibersihkan”, tetapi juga lingkungan supaya bumi yang kita pijak ini menjadi sehat sepanjang-masa (bersambung).

Artikulli paraprakIndonesia Milik Bersama: Renungan Agustusan
Artikulli tjetërIni Bukan Soal Ahok Semata
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.