Alkisah, beberapa bulan sebelum tanggal 17 Agustus 1945 yang keramat itu, Bung Karno menemui empat ulama, “wong pinter”, dan ahli tasawuf yang sangat disegani karena kedalaman ilmu, moralitas dan perilakunya untuk meminta nasehat tentang kapan sebaiknya Bangsa Indonesia memproklamirkan diri kemerdekaanya.
Keempat ulama dimaksud adalah KH Hasyim Asy’ari dari Jombang, pendiri NU dan juga kakeknya almarhum Gus Dur, Kiai Musa Sukanegara dari Ciamis, KH Abdul Mu’thi dari Madiun, dan Raden Sosrokartono. Konon, berdasarkan masukan dari keempat “orang sakti” inilah, “Dwi Tunggal” Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945.
Bung Karno memang bukan hanya seorang orator ulung yang setiap pidatonya yang menggelegar bak petir yang menyambar-nyambar itu mampu menghipnotis ribuan jamaah. Ia juga bukan hanya seorang penulis hebat yang goresan tintanya mampu menginspirasi banyak orang. Bung Karno juga seorang yang sangat hormat dengan para kiai sepuh, “wong alim” dan kharismatik.
Lagi, Bung Karno juga seorang mistikus dan percaya dengan kekuatan gaib. Suatu saat Bung Karno berucap: “Saya percaya pada dunia mistik. Akal tidak bisa menjelaskan kenapa 17 Agustus. Tapi bagiku, tanggal ini memberi harapan yang sangat besar. Saya bisa merasakan di dalam lubuk hatiku yang paling dalam bahwa 17 Agustus adalah saat yang tepat dan baik untuk bangsa ini.”
Bukan hanya kepada para ulama Muslim saja Bung Karno “berguru” dan meminta nasehat. Tetapi juga kepada para ulama non-Muslim yang ia pandang memiliki “kharisma”, ilmu tinggi dan “daya linuwih”. Bung Karno sadar betul bahwa Indonesia ada karena perjuangan bersama. Kemerdekaan adalah buah dari kerja keras berbagai agama dan etnis di Indonesia. Negara Indonesia adalah hasil dari keringat dan pengorbanan tenaga, harta dan nyawa para putra-putri bangsa dari berbagai latar belakang suku, bahasa, dan agama.
Tanpa mereka semua, Indonesia yang kita cintai ini tidak akan pernah ada di bumi pertiwi. Karena itu tidak pada tempatnya jika ada sekelompok kaum Muslim yang mengklaim sebagai “mayoritas yang paling berjasa” sehingga bisa berbuat seenak-wudelnya sendiri. Indonesia lahir bukan untuk “melayani” mayoritas. Indonesia hadir juga bukan untuk “menyenangkan” minoritas. Indonesia itu milik bersama–Muslim, non-Muslim–maka menjadi tanggung jawab bersama pula untuk merawatnya.
Jika kita sekarang bisa menghirup udara dengan bebas, bisa bebas berkelana, berwisata, berkuliner, berceramah, berkhotbah, berekspresi, berpolitik, berorganisasi serta bisa dengan leluasa berjoget egal-egol dan kentat-kentut, semua itu karena jasa mulia para pahlawan dan leluhur bangsa. Oleh karena itu, sungguh tidak beretika jika kita, bukannya berterima kasih, menghormati dan mendoakan, malah menyumpah-serapahi para pahlawan dan leluhur karena dianggap mati sia-sia lantaran tidak memperjuangkan “negara Islam”. Mahluk macam apa kalian ini?
Tentu saja para pahlawan dan leluhur itu tidak minta dan mengharap untuk dihormati, dipuja-puji, dan diberi gelar mentereng ini-itu karena memang bagi mereka semua itu sudah menjadi tanggung jawabnya sebagai putra-putri bangsa untuk membela dan memperjuangkan negara. Maka sudah menjadi tanggung jawab kita pulalah untuk menjaga, merawat dan meneruskan cita-cita kemerdekaan dan kebangsaan yang mulia ini dengan berbagai macam cara sesuai dengan kemampuan kita masing-masing.
Jika kita tidak sudi untuk melakukannya atau bahkan enggan untuk mendoakan mereka, maka cukuplah kita berdiam diri, tidak perlu memaki, menghujat, dan mengafir-sesatkan para pahlawan dan leluhur bangsa karena bisa jadi justru kalian sendiri yang tersesat dan terperosok ke dalam “lubang kekafiran”. [SQ]