Presiden Republik Indonesia

Terasa agak aneh terdengar di telinga terhadap orang-orang yang meragukan keislaman Pak Jokowi tapi pada saat yang bersamaan mengagung-agungkan Pak Prabowo.

Sudah sering saya baca di medsos kalau sejumlah kelompok tertentu dengan gigihnya berkampanye kalau Pak Jokowi itu pengikut “Islam abangan” alias “Islam nominal” alias “Islam KTP” yang “tidak murni” keislamannya sehingga tidak layak memimpin Indonesia. Mereka juga dengan garang melecehkan Pak Jokowi kalau beliau nggak bisa membaca Al-Qur’an dan melafalkan Bahasa Arab.
Sekarang saya tanya:

Emang Pak Prabowo bukan pengikut “Islam abangan”? Emang Pak Prabowo pernah belajar Islam dan menguasai kajian keislaman? Emang Pak Prabowo paham tentang seluk-beluk sejarah Islam, tentang diskursus keislaman, atau tentang tradisi keislaman? Emang Pak Prabowo bisa membaca Al-Qur’an dengan baik, fasih dan tartil sesuai dengan ilmu tajwid? Emang Pak Prabowo bisa membaca teks-teks Bahasa Arab dengan baik? Emang Pak Prabowo bisa naik kuda? Kalau yang terakhir sih sepertinya iya. Cuma nanya doang…

Lagi pula, untuk menjadi presiden atau kepala pemerintahan atau kepala daerah itu tidak perlu persyaratan bahwa ia harus seorang relijius atau bukan, tidak perlu Muslim atau bukan, tidak pelu ia bisa membaca ayat Al-Qur’an atau bukan; tidak perlu ia memiliki wawasan keagamaan atau bukan. Itu sama sekali tidak perlu dan tidak penting!

Yang diperlukan dan sangat penting bagi seorang pemimpin pemerintahan itu adalah bahwa ia memiliki kredibilitas yang baik; mempunyai kemampuan manajerial atau memimpin negara/daerah dengan baik dan bijak; memiliki rekam jejak sebagai orang yang bersih dan tidak korup; memiliki skill tentang mengelola tata-pemerintahan; memiliki visi untuk membangun bangsa/daerah; memiliki komitmen merawat keragaman masyarakat; memiliki jiwa kebangsaan. Begitu seterusnya.

Bahkan, misalnya, jika ada seorang ateis pun tetapi memiliki kemampuan seperti di atas, ia jauh lebih baik memimpin sebuah negara / daerah ketimbang seorang yang berpenampilan relijius tetapi hati dan jiwanya seperti maling dan preman terminal. Pakaian dan penampilan hanyalah “asesoris tubuh” saja yang sama sekali tidak penting.

Perlu juga diingat, tidak ada hubungannya antara “tingkat relijiusitas” dan “kualitas kepemimpinan” karena memang faktanya banyak orang mengaku dan berpenampilan relijius dan “salih-salihah” tetapi hati dan tindakannya busuk dan korup.

Nah, kalau mau jadi imam Masjid Istiqlal, Ketua MUI, ta’mir masjid, pimpinan ormas Islam, atau manajer madrasah misalnya, baru penting syarat-syarat tentang wawasan keislaman dan Al-Qur’an. Gitu lo Mat. Mudeng?

Artikulli paraprakKenapa Saya Berkarir di Luar Negeri?
Artikulli tjetërSejumlah Kesalah pahaman Tentang Bangsa Arab
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini