Kenapa sejak dulu di Indonesia, para ulama dan kiai besar yang sangat alim dan mumpuni keilmuannya tidak pernah meributkan soal jilbab atau hijab atau “busana syar’i” dan lain sebagainya ? Jawabannya sepele: karena beliau-beliau menganggap masalah ini bukan masalah fundamental dan substantial dalam Islam.

Mereka berargumen sepanjang busana yang dikenakan itu menutup aurat dan sesuai dengan ukuran kepantasan dan norma yang berlaku di masyarakat setempat, maka itu sudah sangat Islami dan sangat Qur’ani.

Karena itu dulu para istri, putri kiai-kiai besar, dan santriwati cukup mengenakan pakaian jarik dan kerudung. Bahkan sebelum “teknologi kerudung” diperkenalkan ke masyarakat, mereka cukup memakai kemben.

Setelah “teknologi” celana panjang dan aneka jenis baju diperkenalkan, gaya berbusana para putri kiai pun mengikuti dan menyesuaikan perkembangan zaman. Jadi, kaum Muslimah di Indonesia, tidak perlu repot-repot mencontoh gaya berbusana masyarakat Arab dengan abaya gelombor, misalnya. Busana “kebaya Indonesia” itu sama derajat “islaminya” dengan model “abaya Arab”.

Hanya belakangan saja orang-orang pada ramai hiruk-pikuk membahas soal “hijab syar’i” lah, “jilbab islami” lah. Saya amati hal ini terjadi setelah munculnya berbagai “ustad karbitan” yang “unyu-unyu”–para ustad yang hanya bermodal cekak satu-dua dalil dari Al-Qur’an atau Hadis tapi miskin wawasan kesejarahan, nol besar dalam pengetahuan pluralitas kebudayaan manusia, dan tidak paham dengan aneka metode akademik dan perangkat ilmu-ilmu sosial guna membahas sebuah wawasan keagamaan.

Para ustad yang hanya bisa menghafal sejumlah ayat, Hadis, dan “aqwal” (perkataan para ulama klasik) tetapi tidak menguasai metodologi keilmuan. Akibatnya, mereka hanya bisa mengartikan ayat, hadis, dan “aqwal” tentang “hijab” tadi secara leterlek dan tekstual sehingga kehilangan konteks, sejarah, spirit atau ruh tentang tradisi hijab tadi dalam sejarah keislaman, keagamaan, dan masyarakat Arab dan Timur Tengah pada umumnya–baik masyarakat agama maupun masyarakat non-agama.

Teks apapun kalau dibaca secara “leterlek” menjadi kaku: harus begini, tidak boleh begitu. Jadi bukan teksnya yang keliru karena setiap teks selalu memiliki konteks kesejarahan tertentu. Yang keliru dan perlu dibenahi adalah wawasan dan pemahaman umat beragama terhadap teks-teks itu.

Artikulli paraprakKafir Itu Politis Bukan Teologis
Artikulli tjetërKeunikan Bahrain
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini