Saya perhatikan cara berpikir dan bersikap sebagian kaum Muslim di Indonesia itu “unyu-unyu“. Setiap kali ada gagasan dan tindakan yang progresif, terbuka, toleran, pluralis, dan pro-kemanusiaan serta merta dianggap sebagai “agen Barat”.

Padahal banyak orang-orang Barat yang konservatif, tertutup, intoleran, anti-pluralisme dan anti-kemanusiaan alias “rasis”. Setiap gagasan yang anti-poligami juga dianggap pro-Barat dan pro-kebebasan seks. Padahal komunitas Kristen Mormon di Amerika mempraktekkan poligami. Banyak pula warga Barat yang anti praktek kebebasan seks.

Lucunya lagi setiap mengkritik sejumlah kelompok Islam “ekstrimis” dicap sebagai “agen Barat” dan anti-Islam. Padahal banyak kelompok-kelompok radikal Islam yang justru dikader, dididik, ditraining dan dibiayai oleh agen-agen Barat sejak era “Perang Dingin”.

Untuk membendung kekuatan komunisme Soviet, Amerika, misalnya, (dibantu dengan sejumlah negara kaya Arab Teluk) telah menggelontorkan milyaran dollar untuk melatih para milisi dan jihadis untuk berperang di Afganistan melawan “tentara merah” sejak awal 1980-an.

Bersama tentara Amerika, Abdullah Azzam dan Osama Bin Laden dulu bahu-membahu merekrut milisi Arab untuk “berjihad” di negara yang mendapat sebutan “highway of conquest” ini. Meskipun Azzam dan Osama telah meninggal, kerja sama mereka terus berlanjut hingga kini. ISIS bukan lahir di “ruang hampa” tapi merupakan “anak” hasil “perselingkuhan Barat-Arab”.

Lalu, siapa sebetulnya yang jadi “agen Barat?” “Kaum progresif” atau justru kelompok radikal-ekstrimis itu sendiri?

Untuk menjadi toleran, tidak perlu jauh-jauh ke Barat. Ajaran-ajaran keagamaan banyak mengajarkan tentang itu. Tradisi dan budaya lokal di Indonesia juga melimpah-ruah tentang ajaran-ajaran toleransi. Orang-orang bijak di kampung-kampung juga banyak yang memberi inspirasi tentang sikap toleransi.

 Almarhum ayah saya adalah salah satunya. Beliau meskipun seorang modin, “Muslim Jawa” dan pelopor Islam di kampungnya telah bertahun-tahun hidup dan bersabat dengan seorang guru Kristen yang kebetulan dulu tinggal di gubuk ayah yang sederhana selama tugas mengajar di kampung. Selama bertahun-tahun mereka berbagi makanan, cerita dan kebijakan. Tidak pernah mereka saling mengkristenkan atau mengislamkan.

Keduanya saling menghormati keyakinan masing-masing karena memang masalah keimanan adalah urusan masing-masing individu dengan Tuhannya. Almarhum ayah tidak tahu Barat, tidak paham Bahasa Inggris, TV-pun dulu tidak punya, bahkan tidak pernah mengenyam bangku sekolah formal. Apakah orang-orang kampung seperti almarhum ayahku itu “agen Barat” hanya karena bersikap toleran dengan umat agama lain?[SQ]

Artikulli paraprakLabel “Sesat” Itu Subyektif dan Politis
Artikulli tjetërBarat Belajar Al-Quran, Muslim Perlu Belajar Injil
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini