Anda pernah jalan-jalan ke Istanbul, Turki? Kira-kira apa kesan anda? Inilah kesanku, mana kesanmu?

Kesan pertama, “pamor/citra” Indonesia di mata warga setempat sedikit lebih baik ketimbang di Arab Teluk. Mungkin karena tidak banyak TKI/W di sektor “ekonomi informal” disini. Ini tentu saja beda dengan di Teluk. Juga mungkin lantaran warga Indonesia Turki umumnya sebagai pelajar atau turis yang tentu saja sedikit “berkelas”.

Coba saja anda jalan-jalan ke “pasar-pasar tradisional” di Istanbul, para penjual pasti akan saling bersautan memanggil: “Dari Malaysia, Indonesia, mari-mari murah-murah….”. Meski sedikit menyinggung perasaan karena dianggap penggemar barang-barang murah (meskipun sebetulnya emang iya sih he.he.), sautan-sautan mereka itu menunjukkan bahwa warga “bermuka” Indo-Malay itu masuk “kelas turis”.

Kesan kedua, warga Turki itu necis, trendi, modis, dan stylist. Baik tua maupun muda, baik laki maupun perempuan, baik “pekerja halus” maupun “pekerja kasar”, semuanya berpenampilan necis (pakaiannya, potongan rambutnya), bahkan lebih necis daripada orang-orang  Amerika, Inggris, dan belahan Eropa lain yang saya temui.

Ada banyak yang bilang gaya penampilan & pakaian warga Turki itu “sangat Eropa” tapi kok saya kurang setuju mengingat banyak orang-orang Eropa yang berpenampilan (maaf) “nglemprot” dan “ndeso”.

 Karena sama-sama trendi, setidaknya di Istanbul, kita akan kesulitan membedakan antara “orang miskin” dan “orang kaya”. Kalau di Indonesia atau Jawa cukup kelihatan antara “orang sukses” dan “orang belum sukses” (dari tampangnya, gayanya, penampilannya, atau bahkan cara jalannya hehe).

Kesan ketiga, wajah keislaman disini lebih fleksible, toleran, dan damai. Mungkin karena pengaruh “mazhab Hanafi” yang lebih mengedepankan rasio dalam melihat problem sosial-kemasyarakatan. Atau mungkin juga lantaran Istanbul adalah tempat bermarkasnya berbagai peradaban agung masa silam: Obelisk Mesir, Kristen Bizantium, Islam Turki Usmani. Atau, bisa jadi, karena produk dari sekularisasi dan modernisasi yg ditanam oleh pendiri Republik Turki, Mustafa Kamal.

Apapun faktornya, saya menyaksikan pemandangan Islam yang cukup fleksible, toleran, dan damai. Disini ada “distrik sekuler” dan “distrik religious”; para imam, penceramah & khotib (Hoja) dalam ceramah-ceramahnya lebih menekankan pada ahlak, toleransi, perdamaian, persatuan, bukan pada aspek-aspek aqidah, perpecahan, provokasi kebencian, dan pembenaran mazhab2/wacana-wacana keislaman tertentu.

Meskipun begitu, bukan berarti Istanbul bebas dari ekstremisme dan terorisme. Orang-orang “tidak waras” selalu bergentayangan dimana-mana. Itulah sebabnya mereka ngebom kawasan turis Istanbul beberapa waktu lalu sesaat setelah saya & keluarga meninggalkan kota historis nan “molek” ini…

Artikulli paraprakNasehat Bijak Cak Lontong
Artikulli tjetër#QUOTE 2
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.