Dunia belum lama ini dikejutkan oleh serangan teror ganas di Iran yang menewaskan dan melukai puluhan orang (kabarnya 22 orang tewas dan lebih dari 50 orang luka-luka). Ini adalah serangan teror mematikan pertama yang dilakukan oleh ISIS (Islamic State of Syria and Iraq) yang terjadi di negeri para mullah itu.

Selama ini, milisi ISIS mengklaim hanya melakukan berbagai serangan terorisme (baik dengan senapan maupun bom bunuh diri) di Irak, Suriah, Pakistan, Afganistan, Arab Saudi, Yaman, Mesir, Libanon, Turki, dan sejumlah negara Eropa. Mereka belum pernah melakukan aksi terornya di Iran. Baru pada 7 Juni lalu mereka beraksi di negeri yang dulu bernama Persi ini.

Ada dua tim yang melakukan serangan teror ini. Tim pertama, terdiri dari 5 orang, menyerang Parlemen Iran (dengan menembakkan senapan). Sedangkan tim kedua, terdiri dari 2 orang, meledakkan diri mereka di kompleks pusara Ayatullah Imam Khomeini, pendiri Republik Islam Iran. Baik Parlemen maupun pusara Imam Khomeini ini merupakan simbol politik-kultural-agama yang sangat penting bagi Iran.

Banyak spekulasi dan analisis yang bermunculan tentang serangan teror ini. Iran menuduh Saudi di balik aksi terorisme ini, tuduhan yang kemudian dibantah oleh pihak Saudi. Beberapa saat setelah tragedi ini, ISIS sudah mengklaim sebagai pelakunya.

Menurut mereka, aksi ini sebagai “peringatan keras” kepada Iran yang selama ini memback-up milisi Syiah di Irak, Suriah, Libanon, dan Yaman, serta menjadi sponsor beberapa faksi radikal Syiah di sejumah negara yang dikontrol Sunni seperti Bahrain, Saudi, atau Qatar. Ada juga yang menilai serangan ISIS ke Iran ini sebagai “aksi balas dendam” atas terdesaknya milisi ISIS di sejumlah kawasan di Irak dan Suriah.

Menariknya, menurut pihak otoritas Iran, empat dari lima pelaku serangan yang tertangkap dan kini dijadikan tersangka itu adalah warga negara Iran yang beretnis Kurdi, etnik terbesar ketiga di Iran setelah Persi dan Azerbaijan. Syed Mahmoud Alavi, Menteri Urusan Intelegen Iran, menyatakan bahwa mereka yang terlibat dalam aksi terorisme itu adalah anggota milisi ISIS di Irak.

Iran juga menangkap setidaknya 50 tersangka lain yang dicurigai terlibat di berbagai upaya terorisme di seantero Iran. Pemerintah Iran, yang kini di bawah kepemimpinan Imam Khamenei dan Presiden Hassan Rouhani, mengfokuskan pada kelompok etnik Kurdi yang mendiami kawasan Barat Iran seperti Kordistan, Kermanshah, Azerbaijan Barat dan Ilam. Oleh warga Kurdi, kawasan ini dikenal dengan sebutan Rojhalat.

Menurut Marc Martinez dari The Delma Institue, sebuah lembaga riset di Uni Emirat Arab, warga Kurdi di Iran masih menaruh dendam kesumat dengan Tehran karena upaya mereka mendirikan negara otonom Kurdi bernama Republik Mahabad di Iran Utara (dulu didirikan oleh Qazi Mohamed yang berkoalisi dengan Uni Soviet) digagalkan oleh Iran dengan batuan Amerika Serikat.

Sejak itu mereka melakukan berbagai upaya politik untuk mendelegitimasi otoritas pemerintah dan menggoyang keamanan dalam negeri Iran. Seperti negara-negara lain pada umumnya, Iran, yang juga negara yang sangat majemuk dari segi etnis, bahasa, dan agama, juga memiliki segudang problem masalah sosial, politik, budaya, agama, etnisitas, dlsb.

Maka, bergabungnya milisi Kurdi Iran dengan ISIS memiliki tujuan politik internal, yakni pendongkelan kekuasaan di Iran. Dengan bergabung ke ISIS, setidaknya milisi Kurdi bisa belajar strategi dan taktik “mengacaukan” dan menggulingkan kekuasaan.

Jika upaya makar ini gagal, maka terorisme adalan jalan lain untuk mengdestabilisasi politik serta menganggu keamanan dan kenyamaan rezim. Bergabungnya sejumlah warga Kurdi Iran ke ISIS di Irak ini merupakan ironi mengingat warga Kurdi Irak justru berjuang dan berperang melawan milisi ISIS.

***

Kasus terorisme yang terjadi di Iran ini adalah peringatan keras bagi negara mana saja termasuk Indonesia yang sangat rawan terhadap infiltrasi ideologi asing dan transnasional. Beberapa kali kasus terorisme di Indonesia yang diklaim dilakukan oleh simpatisan ISIS menunjukkan bahwa gema pengaruh organisasi teror kelas wahid ini tidak hanya berhenti di kawasan Arab, Timur Tengah, atau Afrika Utara saja tetapi juga sudah ke berbagai belahan dunia, termasuk kawasan Asia Tenggara.

Terbukti ISIS sekarang juga bercokol di Mindanao, Filipina selatan, hingga Presiden Rodrigo Duterte mendeklarasikan Darurat Militer untuk kawasan ini setelah terjadi serangan teroris mematikan di kota Marawi, Provinsi Lanao del Sur, yang menyebabkan banyak kematian dan arus migrasi berskala besar warga setempat. Perang antara tentara Filipina dengan para milisi teroris-separatis-jihadis lokal yang didukung ISIS pun tidak bisa terhindari.

Kelompok milisi ini dikenal dengan sebutan Maute yang diambil dari nama duo bersuadara: Umar Maute dan Abdullah Maute. Maute adalah gerombolan teroris, preman, kriminal, dan milisi yang sering berbuat ulah di kawasan Mindanao. Konon pemicu dari aksi “tragedi Marawi” ini adalah gagalnya penangkapan Isnilon Totoni Hapilon, pemimpin gang Maute. Isnilon Hapilon adalah mantan pentolan Abu Sayyaf Group (ASG), ormas teroris yang dulu memiliki afiliasi dengan Al-Qaedah, yang berbasis di Jolo dan Basilan, Kepulauan Sulu.

Para milisi dan teroris ASG ini dikenal luas sebagai pengebom bunuh diri dan penculik orang-orang bule (warga Barat) untuk dijadikan sebagai sandra guna mendapatkan uang tebusan. ASG juga berafiliasi dengan kelompok teroris Jamaah Islamiyah di Indonesia yang melakukan serangkaian aksi pengeboman di Tanah Air (seperti kasus pengeboman Bali).

ASG didirikan oleh Abdurrajak Abu Bakar Janjalani, bekas milisi Mujahidin pada waktu terjadi perang antara Afganistan dan Uni Soviet sejak 1980an. Disanalah ia bertemu dan kesengsem dengan pemimpin Mujahidin bernama Abdul Rasul Sayyaf yang juga pendiri Islamic Union for the Liberation of Afghanistan. Abdul Rasul Sayyaf kemudian menjadi mentor Abdurrajak Janjalani. Nah, nama “Abu Sayyaf Group” itu diambil dari nama Abdul Rasul Sayyaf ini.

Jika dulu ASG menjadi kaki-tangan Al-Qaedah, kini mereka menjadi pion-pion ISIS. Komandan Maute, Isnilon Hapilon juga berikrar setia kepada ISIS dan pemimpinnya, Abu Bakar Al-Baghdadi. Hal yang sama juga dilakukan oleh kelompok Islamis-teroris lain di Mindanao seperti Bangsamoro Islamic Freedom Fighters (BIFF) dan Ansar Khalifah Philippines.

“Tragedi Marawi” ini mungkin adalah dampak dari gagalnya perundingan damai antara pemerintah dengan Moro Islamic Liberation Front (MILF). Seperti di Iran, ISIS juga memanfaatkan “kelompok sempalan” anti-pemerintah di Filipina untuk mengoyang kekuasaan.

Potensi yang sama juga sangat mungkin akan terjadi di Indonesia, dimana ISIS akan memanfaatkan kelompok-kelompok anti pemerintah, khususnya kelompok Islamis, untuk menciptakan destabilitas, kekacauan, dan ketidakamanan publik.

Sejauh ini sudah ada beberapa warga Indonesia yang menjadi milisi ISIS di Irak maupun Suriah seperti Salim Mubarak Attamimi, warga Pasuruan, Jawa Timur, yang mengklaim sebagai “Panglima ISIS Indonesia” yang tewas di Irak pada 2014.

Sebagian masyarakat Muslim Indonesia yang cenderung berpikiran konservatif dan berpenampilan “Islami” tetapi tidak mengetahui tentang seluk-beluk pluralitas wacana keislaman serta miskin wawasan geo-politik di Arab dan Timur Tengah menjadi “sasaran empuk” wacana Islam ekstrim yang dikembangkan oleh kelompok-kelompok radikal Islamis, termasuk jaringan global terorisme (tak terkecuali ISIS ini).

Jika ingin Indonesia kedapan menjadi negara yang aman, toleran, damai, dan sentosa, maka pemerintah, militer, polisi, akademisi, tokoh agama, dan masyarakat pada umumnya harus bersatu padu bahu-membahu melawan ideologi jihadisme, radikalisme dan terorisme yang mengancam kenyamanan publik dan stabilitas nasional ini.

Militer khususnya harus mewaspadai “jalur laut” yang selama ini menjadi arus keluar-masuk kelompok radikal dan teroris dari dan ke Mindanao. Kerja sama militer antara Indonesia, Malaysia, dan Brunei untuk menjaga wilayah laut dari kemungkinan pelarian milisi ISIS di Mindanao harus terus digalakkan. Wilayah Kepulauan Filipina adalah perbatasan dengan teritori Indonesia (misalnya Sulawesi) dan selama ini memang dijadikan sebagai arus hilir-mudik kelompok militan-ekstrimis.

Penggabungan pendekatan militer dan non-militer menjadi kunci untuk memangkas gerakan terorisme dan ideologi jihadisme. Pengamat terorisme, David Cortright dan George Lopez, dalam buku Uniting Against Terror: Cooperative Nonmilitary Responses to the Global Terrorist Attack, menjelaskan tentang pentingnya menggabungkan dua pendekatan dan strategi dalam melawan terorisme, yaitu “tactical counterterrorism” dan “strategic counterterrorism”.

Strategi dan metode “tactical counterterrorism” fokus pada “pendekatan militer”, misalnya operasi memburu kantong-kantong dan sel-sel terorisme seperti yang selama ini dilakukan oleh pihak kepolisian dan Densus 88.

Sedangkan “strategic counterterrorism” menekankan pada pendekatan, taktik, dan strategi non-militer seperti mendesain berbagai kebijakan publik dan program yang dimaksudkan untuk menghilangkan faktor-faktor dan akar-akar yang selama ini menjadi penyubur gerakan dan ideologi terorisme. David Cortright and George Lopez menulis: “Due to the global nature of the terrorist threat, cooperative nonmilitary responses are necessary elements of counter-terrorism strategy.”

Pemerintah, aparat keamanan, dan masyarakat perlu menjalin kerja sama yang efektif-sinergis-produktif guna mendesain program-program konterterorisme, baik yang “tactical counterterrorism” maupun “strategic counterterrorism” (khususnya di bidang ekonomi, sosial-budaya, pendidikan, keagamaan, dan lain sebagainya) guna menanggulangi radikalisme dan terorisme global dan domestik yang bisa menghancurkan sendi-sendi kenegaraan dan kebangsaan di Indonesia tercinta.

Sumber : liputan6.com

Artikulli paraprakBahaya Laten Islamis-Teroris
Artikulli tjetërPeacebuilding in Indonesia: Christian–Muslim Alliances in Ambon Island
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.