Bahaya laten Komunis? Itu dulu. Sekarang Indonesia menghadapi bahaya laten Islamis. Kaum komunis beserta ideologi komunisme di Indonesia sudah menjadi “hantu kuburan” yang sulit dan mustahil bangkit lagi. Bukan hanya di Indonesia, di berbagai belahan dunia, komunisme juga semakin menjadi “barang rongsokan” yang sepi peminat dan miskin pengikut. Mungkin hanya Korea Utara saja yang masih “bernostalgia” dengan komunisme.
Selebihnya, tidak ada negara dan masyarakat yang melirik dengan komunisme. Kuba sudah kapok menjadi rezim komunis yang terisolir yang hanya mengakibatkan keterpurukan warga.
Republik Rakyat China (PRC) kini sudah menjelma menjadi “negara gado-gado”: setengah komunis, setengah kapitalis. Sementara Uni Soviet (USSR) sebagai “kampium dan produser komunisme” sudah menjadi “mendiang” dan hancur berkeping-keping sejak akhir 1980-an pecah menjadi berpuluh-puluh negara kecil.
Russia, sebagai pewaris almarhum Soviet, sudah menjadi negara multi-partai. Partai Komunis tidak lagi dominan dan hegemonik. Russia kini berbentuk negara federasi dan republik semi-presidensial.
Russia bukanlah Soviet yang bertumpu pada komunisme tetapi sudah berubah “jenis kelaminnya” menjadi negara kapitalis yang bertumpu pada kekuataan pasar. Pula, Russia dewasa ini adalah sebuah “negara agamis” dimana Kristen Ortodoks Russia menjadi pilar utamanya.
Oleh karena itu, jika di Indonesia dewasa ini masih ada sejumlah tokoh dan sekelompok politik-agama yang mendakwahkan, mengkampanyekan, dan mempropagandakan “bahaya laten komunis” sungguh seperti orang yang sedang bermimpi di siang bolong yang patut diwaspadai motivasi dan tujuannya.
Tentu saja ini bukan berarti bahwa negara dan masyarakat di Indonesia tidak perlu mewaspadai komunis, yang melalui PKI, pernah melakukan tindakan makar dan mencoba mengganti Ideologi Pancasila. Waspada tetap perlu. Tetapi dalam konteks Indonesia dewasa ini, menggemakan “bahaya laten komunis” adalah tindakan berlebihan yang tidak memiliki dasar valid, argumen kuat, dan data akurat.
***
Sebaliknya, yang jelas-jelas nyata di depan mata dan menjadi tantangan utama pemerintah dan masyarakat Indonesia saat ini adalah kelompok Islamis. Harap dibedakan antara kelompok Islam dan kelompok Islamis. Kelompok Islam adalah kaum Muslim yang sangat warna-warni di dunia ini: mazhabnya, ormasnya, pemikiran keagamaannya, pandangan keislamannya, praktik ritualnya, ekspresi budayanya, dan seterusnya.
Sementara kelompok Islamis adalah sekelompok umat Islam yang sangat politis serta memiliki tujuan dan cita-cita kuat mendirikan sebuah sistem politik-kekuasaan dan pemerintahan yang mereka klaim berbasis pada ajaran, doktrin, aturan, dan hukum Islam.
Kaum Islamis adalah kelompok Muslim yang memiliki ambisi kuat mendirikan, klaim mereka, “Negara Islam” atau sistem pemerintahan Islam. Dengan demikian, kaum Islamis adalah kaum yang berpaham atau berideologi Islamisme, yakni sebuah gerakan agama-politik fundamentalis-konservatif yang bertujuan untuk mendirikan sebuah sistem politik-pemerintahan berdasar pada “ajaran Islam”.
Islamisme juga berarti sebuah gerakan agama-politik guna mengtransformasi sistem dan bentuk pemerintahan yang ada di kalangan umat Islam yang dianggap “belum Islami” menjadi sebuah pemerintahan yang “lebih Islami”. Tentu saja kata “Islami” ini menurut standar, kriteria, dan ketentuan yang sudah disepakati oleh kelompok Islamis tadi.
Penting juga untuk dicatat bahwa masing-masing kelompok Islamis memiliki “standar ideal” yang berlainan tentang apa yang disebut sebagai negara/pemerintahan “Islami”. Misalnya, Islami menurut ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) belum tentu Islami menurut Hizbut Tahrir. Begitu seterusnya.
Untuk mencapai tujuan pendirian “negara/pemerintahan Islam” ini, ada kelompok Islamis yang memakai “jalur damai” dan menggunakan “kekerasan minimal” tetapi ada pula yang memakai jalan kekerasan, ekstrimisme, dan terorisme.
Sejumlah kelompok teroris seperti Al-Qaidah (Afganistan), ISIS (Irak-Suriah), Jabhat al-Nusra (Suriah), Bako Haram (Nigeria), Jama’ah Islamiyah (Indonesia/Asia Tenggara), Islamic Salvation Front (Aljazair), Ansar al-Sharia (Libya), Abu Sayyaf Group (Filipina), dan lain sebagainya adalah contoh dari kelompok Islamis-teroris yang menggunakan cara-cara kekerasan dan terorisme untuk mewujudkan impian dan ambisi politiknya mendirikan “Negara Islam”.
Menurut Oxford Dictionary, terorisme adalah “the unlawful use of violence, especially against civilians, in the pursuit of political aims.” Kaum teroris, apapun afiliasi politik dan agamanya, menggunakan berbagai macam strategi, taktik, dan cara kekerasan dan ekstrimisme (penyandraan, intimidasi, penyerangan, pengeboman,dan lain sebagainya) demi merealisasikan tujuan-tujuan politiknya (simak studi Randall Law, Terrorism: A History atau Mark Juergensmeyer, Teror in the Mind of God: The Global Rise of Religious Violence).
Strategi dan taktik yang sama juga dilakukan oleh kelompok Islamis-teroris di berbagai belahan dunia: Irak, Suriah, Afganistan, Aljazair, Libya, Tunisia, Mesir, Filipina hingga Indonesia.
Terorisme dengan demikian merupakan ancaman global-internasional bukan hanya lokal-regional-nasional. Para aktor terorisme dewasa ini bukan hanya para “pemain lokal” yang amatir tetapi merupakan jaringan transnasional yang memiliki kontak di berbagai negara. Sebagian merupakan kelompok “teroris profesional” yang memiliki “jam terbang” tinggi.
Di era Internet dan digital sekarang ini, mereka dengan mudah memosting doktrin-doktrin terorisme-jihadisme melalui media sosial dan “grup khusus” di WhatsApp atau mailing list untuk meyakinkan publik tentang pentingnya “Islamisme” sekaligus guna menggalang atau merekrut massa menjadi “calon-calon martir” dan “kandidat teroris-Islamis”.
Untuk meyakinkan sekaligus mencuri hati publik Muslim, mereka juga memosting di medsos berbagai foto penderitaan atau kekejaman rezim politik (baik rezim Muslim maupun bukan) terhadap umat Islam. Berbagai strategi dan taktik terorisme sejak zaman pra-Internet sampai era digital ini telah dipaparkan dengan baik oleh Bruce Hoffman, Direktur Center for the Study of Terrorism and Political Violence, dalam bukunya Inside Terrorism.
Hasil dari “propaganda jihadisme” melalui dunia maya itu cukup lumayan efektif. Terbukti sejumlah teroris seperti Dzhokhar Tsarnaev dan Tamerlan Tsarnaev, para pelaku “Bom Boston” tahun 2013, Salim Mubarok Attamimi yang mengaku sebagai “komandan ISIS” Indonesia (w. 2014), atau yang paling mutakhir Ahmad Syukri, pelaku bom bunuh diri di Kampung Melayu yang tewas belum lama ini, adalah para korban “propaganda digital” jaringan global terorisme.
Sangat menyedihkan menyaksikan sebagian kaum Muslim dan kelompok Islam di Indonesia yang “kesengsem” atau “terpesona” dengan “perjuangan” kelompok teroris ISIS. Padahal bagi yang melek sejarah politik Arab dan Timur Tengah, mereka akan tahu kalau ISIS tidak lebih sebagai kaum pecundang, teroris kejam, dan ekstrimis bengis yang menggunakan atau memanipulasi Islam semata-mata sebagai medium untuk menggapai cita-cita politik-kekuasaan duniawi (simak misalnya kajian-kajian tentang ISIS oleh William McCants, The ISIS Apocalypse; Michael Weiss, ISIS: Inside the Army of Terror; atau Joby Warrick, Black Flag: The Rise of ISIS).
Untuk menanggulangi bahaya laten Islamis-teroris ini atau guna mengantisipasi dampak buruk Islamisme-terorisme di masa mendatang, pemerintah Indonesia, aparat keamanan, tokoh masyarakat, dan rakyat secara umum perlu bahu-membahu bekerja sama secara intensif-integral.
Berbagai strategi, taktik, dan metode baik “hard power” (seperti melalui “pendekatan militer/keamanan”) maupun “soft power” (seperti melalui dunia pendidikan, kajian-kajian keagamaan, pengajian-pengajian keislsman, dlsb) perlu diterapkan secara ekstensif.
Senapan mungkin bisa membunuh kaum teroris tetapi ia tidak mampu membunuh ideologi terorisme. Tetapi sistem pendidikan yang baik, peningkatan kesejahteraan warga, dan penyebaran wacana keagamaan yang toleran, humanis, dan pluralis pelan tapi pasti bisa menghapus atau minimal mengurangi bahaya laten Islamis-teroris ini.
Masjid-masjid harus digunakan dan dimaksimalkan penggunaannya sebagai medium untuk melawan penyebaran paham Islamisme, radikalisme, dan terorisme yang mulai mewabah di Tanah Air.
Para ustad, dai, khatib, dan pengurus masjid juga harus ditraining tentang pentingnya Islam yang ramah dan toleran serta bahaya laten Islamis-teroris bagi kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara di Republik Indonesia tercinta. Wallahu a’lam bi-shawwab.
Sumber : liputan6.com