Setelah “secara resmi” mendapatkan beasiswa doktoral dari BU melalui sebuah perjuangan yang berliku-liku (waktu itu hanya ada dua orang penerima beasiswa doktoral dari Muslim Studies Fellowship. Selain saya, penerima beasiswa lain adalah mahasiswa doktoral dari Amerika yang mengambil studi tentang Iran), saya pun segera menelpon orang tua di kampung di Batang, Jawa Tengah, dengan kartu telpon $10 yang saya beli dari sebuah toko Asia di kawasan Harrisonburg.
Respons orang tua tentang kabar saya mau melanjutkan studi doktoral di BU bukannya senang tapi malah tampak sedih. Waktu itu “bapake enyong” (ayahku, kini sudah almarhum) bilang dalam Bahasa Jawa: “Katanya mau dua tahun saja sekolah di Amerika? Kok sekarang mau sekolah lagi? Sekolah kok lama banget gak selesai-selesai? Sekolah apa toh kamu itu? Mbok pulang saja terus mencari kerjaan, nggak usah sekolah lagi.”
Saya mengerti perasaan beliau sebagai orang tua tentu akan sangat berat ditinggal lama oleh anaknya. Apalagi saya adalah anak terakhir. Sebagai orang kampung dan petani kecil yang tidak pernah “mambu bangku sekolahan” he he, beliau tentu saja tidak mengerti apa itu sekolah doktor, apa itu BU, dlsb.
Bahkan beliau juga tidak tahu Amerika. Tahunya “Ngamirika” he he. Tetapi saya coba yakinkan ke beliau bahwa ini adalah “kesempatan langka” dan saya berjanji akan menyelesaikan kuliah secepatnya supaya bisa mudik ke kampung.”
Mungkin dengan berat hati, akhirnya beliau mengikhlaskan juga saya tinggal lebih lama sedikit di Amerika untuk melanjutkan kuliah doktoral.
Karena mendapat tawaran beasiswa doktoral di BU, studi masterku di Virginia saya kebut secepat kilat. Sehari sebelum saya terbang ke Boston, saya presentasi “riset praktikum” di hadapan para professor dan mahasiswa sebagai penanda berakhirnya kuliah S2-ku di Virginia.
Di bandara Boston, saya dijemput oleh teman Pdt. Dr. Joas Adiprasetya, mantan Ketua STT Jakarta yang dulu masih menjadi mahasiswa doktoral di Fakultas Teologi, BU. Saya pun berjumpa fisik untuk pertama kalinya dengan Professor Robert Hefner, sosok yang berada di balik perjuangan mendapatkan beasiswa di BU, yang selama ini kami hanya berkomunikasi lewat email saja. Begitu melihat “tampang Jawa”, Pak Bob langsung menyapa dengan Bahasa Indonesia: “Ini pasti orang Jawa yang akan kuliah di BU.”
Meskipun saya mendapatkan beasiswa “Muslim Studies Fellowship”. Problem tidak selesai dan langsung “happy ending” seperti film-film Bollywood. Perjuangan masih panjang karena (1) beasiswa yang disediakan oleh Muslim Studies Fellowship ini hanya dua tahun sementara kuliah doktoral di Amerika minimal 5 tahun, (2) beasiswa hanya untuk saya, tidak mencakup kebutuhan keluarga (anak-istri), (3) beasiswa tidak meng-cover biaya selama musim summer sekitar 3-4 bulan antara Juni dan Agustus karena summer dianggap “musim liburan”.
Bagaimana saya mengsiasati beasiswa yang minimalis ini? Bagaimana saya berjuang untuk hidup di Boston bersama anak-istri dengan beasiswa yang terbatas ini? Bagaiamana perjuanganku mendapatkan beasiswa lain untuk melanjutkan kuliah setelah beasiswa Muslim Studies Fellowship ini selesai? Bagaimana saya berjuang jungkir-balik sampai mememenangkan “penghargaan riset disertasi” dari National Science Foundation, Amerika Serikat? Jangan kemana-mana, simak terus romantika perjalanku di Boston yang penuh lika-liku dan “jihad akademis” yang mengharu-biru he he (Bersambung).
Dibukukan aja prof, cerita berkuliah episode pertama sampai ending nanti hehe.
Dibukukan aja prof, cerita berkuliah episode pertama sampai ending nanti hehe.