Sudah lama sekali saya dituduh “dibiayai” Ngamerika dan “disekolahkan” oleh kapir sehingga menjadi “antek” Salibis-Zionis hanya karena saya garang mengkritik kelompok “Islam sontoloyo” dan juga kebetulan karena saya alumnus Amerika.

Padahal ada cukup banyak alumni Amerika atau yang pernah sekolah di Amerika tapi mereka tidak pernah dituduh ini-itu oleh barisan Mamat-Mimin-Momon. Tahu kenapa? Ya karena mereka berada di satu barisan dengan “Islam sontoloyo” itu. Saya nggak mau sebut nama-nama mereka, nanti ada yang ngamuk dan kebakaran jembut he he.

Bagi yang paham tentang perjuangan, seluk-beluk dan duka-cita kuliah di negara-negara Barat, mereka akan tahu betapa susah dan beratnya kuliah di Barat. Apalagi kuliah dengan beasiswa “pas-pasan” seperti saya.

Uang bulanan (stipend) dari beasiswa doktoralku di Boston waktu itu sekitar USD 2,100 per bulan. Itupun hanya untuk bulan Setember – Mei. Untuk bulan Juni-Agustus tidak ada stipend karena dianggap sebagai “musim liburan”, bukan “bulan-bulan kuliah”. Kalau di kampungku di Batang, Jawa Tengah, uang segitu tentu saja sudah melimpah ruah karena makanan dan tempat tinggal serba-murah.

Tapi di Boston, uang segitu sangat mepet tembok sekali. Apalagi kalau kita tinggal bersama anak-istri. Kalau kita sendirian, uang sebesar itu sudah cukup karena bisa tinggal di asrama mahasiswa di kampus dengan biaya yang terjangkau.

Boston adalah salah satu kawasan yang terkenal cukup mahal (untuk ukuran mahasiswa) dalam hal housing atau sewa-menyewa apartemen. Waktu itu sewa Apt-ku dan remik-remik lain (biaya internet, tv, listrik, dlsb) sekitar $1,500 / bulan. Sekitar $100 dipakai untuk membeli “kartu transportasi” bulanan untuk naik bus & subway. Jadi, sisanya tinggal $500.

Bagaimana memakai uang $500 supaya cukup satu bulan untuk membiayai hidup bersama anak-istri di kota metropolitan seperti Boston? Sementara pada waktu yang sama, karena status “visa pelajar”-ku, saya tidak boleh bekerja mencari uang tambahan (secara legal) diluar kampus. Pernah dulu saya melamar menjadi tukang bersih-bersih salju atau “loper koran” tapi nggak bisa.

Karena nggak bisa kerja sambilan, tidak ada cara lain selain mengencangkan ikat pinggang dan cerdik mencari celah barang-barang murah misalnya belanja di pasar-pasar tradisional di pinggir jalan atau “pasar Asia” atau mencari kupon-kupon diskon makanan. Kemudian juga rajin menjadi “pemulung” mencari barang-barang bekas yang dibuang di pinggir-pinggir jalan atau kompleks apartemen (seperti alat-alat dapur, ruang tamu atau kamar tidur) untuk mengisi apartemen yang kosong-melompong cuma berisi kasur dan bantal bekas doang.

Anakku, Vicky, saya daftarkan di program keluarga miskin dari pemerintah setempat. Lumayan, setiap bulan dapat jatah kupon yang bisa ditukar dengan telur, susu atau cereal di toko-toko tertentu. Meskipun itu jatah untuk anakku tapi ya saya juga yang menikmatinya he he. Sekolah “pre-school” Vicky juga saya daftarkan yang gratisan sehingga tidak perlu membayar $500 per Minggu. La, jatah makan sebulan masak dipakai untuk bayar sekolah TK per Minggu. Kepriben sih?

Karena uang yang sangat mepet inilah, selama hidup di Boston hampir-hampir kami tidak pernah menikmati makan di restoran, tidak pernah melancong atau turisme ke daerah-daerah lain paling-paling muter-muter di Boston doang, tidak pernah meihat pertadingan baseball ataupun football tim Boston kesayangan, tidak pernah mudik selama kuliah karena nggak punya uang untuk beli tiket, dan belum bisa kirim uang ke orang tua di kampung.

Meski uang bulanan terbatas, saya masih bersyukur bisa kuliah doktoral gratis tanpa harus membayar SPP. Bayangkan biaya SPP per tahun waktu itu saja sekitar $50,000. Kalau bukan dengan beasiswa, tentu saja saya tidak sanggup membayarnya.

Saat itu yang ada dibenakku adalah bagaimana saya bisa menyelesaikan kuliah doktoral secepatnya supaya kami bisa segera keluar dari “belenggu dan keterbatasan finansial” ini. Saya memang ngebut kuliah dan bisa selesai dalam waktu singkat dan salah satu yang tercepat merampungkan studi doktoral di departemen antropologi, Boston University (Bersambung).

Artikulli paraprakPerjuangan Meraih Beasiswa Kuliah (6)
Artikulli tjetërTradisi Poligami Merosot Tajam di Timur Tengah
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini