Anda mungkin mengira kalau tradisi poligini (suami mempunyai sejumlah istri) itu berkembang-biak di Timur Tengah, khususnya kawasan Arab? Perkiraan Anda itu keliru besar. Poligini itu “sistem perkawinan” yang sangat rumit tidak semata-mata persoalan memaksukkan “Mr. Titit” ke lubang “Ms. Wiwik” he he.
Dulu poligini memang populer. Tapi sejak beberapa dekade silam, tradisi ini melorot tajam. Berdasarkan hasil survei dan pembicaraan saya dengan ratusan warga Arab, khususnya Saudi, ada sejumlah faktor mendasar yang menjadi sebab menurunnya praktik poligini ini di kalangan masyarakat Arab kontemporer.
Beberapa faktor itu, antara lain, pertama, semakin meningkatnya kualitas pendidikan kaum perempuan. Negara-negara Arab sekarang berlomba-lomba meningkatkan mutu pendidikan bagi kaum Hawa. Akibatnya kini banyak kalangan perempuan terdidik yang memegang peran penting di berbagai sektor kehidupan.
Kultur “Arab Ori” itu minder dan hormat kalau melihat “orang terdidik”, baik laki-laki maupun perempuan. Karena itu kaum laki-laki Arab akan mikir seribu kali kalau mau meminang perempuan yang memiliki background pendidikan tinggi.
Laki-laki Arab yang berpendidikan rendah umumnya tidak berani (bisa minder, bisa juga segan) melamar perempuan Arab yang berpendidikan lebih tinggi darinya. Laki-laki Arab juga minder kalau mau melamar perempuan yang memiliki pekerjaan lebih tinggi darinya. Perempuan Arab juga sama, tidak mau menikahi laki-laki Arab yang memiliki pekerjaan rendah.
Kedua, para perempuan Arab kontemporer tidak mau dijadikan sebagai istri kedua, apalagi ketiga dan keempat. Mereka maunya menjadi istri pertama dan utama.
Menurut penuturan murid-murid Arabku, sebelum melangsungkan akad pernikahan, sang laki-laki diminta oleh pihak perempuan untuk berjanji terlebih dahulu untuk tidak “memadunya”. Mereka tidak mau dimadu bukan hanya lantaran persoalan “hati” semata tetapi juga karena “jatah material” akan berkurang.
Ketiga, biaya pernikahan yang sangat mahal (mencapai milyaran) yang tidak terjangkau oleh “kalangan biasa” apalagi kaum pengangguran. Pernikahan semakin mahal karena ini sudah menjadi semacam “bisnis keluarga” sekaligus “ajang pertaruhan kehormatan” suku/klan Arab. Para lelaki Arab sering mengatakan: “Jangankan menikahi 2 atau 3 istri, satu istri saja tidak sanggup”.
Keempat, rumitnya aturan pernikahan. Pernikahan di Arab, khususnya di Saudi dan Arab Teluk, bukan semata persoalan cinta tetapi juga pertaruhan harga diri suku atau klan. Laki-laki atau perempuan dari suku atau klan “terhormat” tidak mau menikahi dengan laki-laki/perempuan dari suku/klan “rendahan”.
Jadi, meskipun Islam adalah “agama resmi” mereka, tetapi dalam praktiknya, nilai-nilai dan “tradisi suku” yang dijadikan sebagai “pedoman pernikahan”.
Kelima, poligini dianggap telah banyak membawa perpecahan keluarga. Tingginya tingkat perceraian di Saudi, antara lain, disebabkan oleh banyaknya perempuan yang tidak mau dimadu.
Karena rumitnya aturan sistem pernikahan inilah maka tidak heran kalau persentase laki-laki/perempuan jomblo sangat tinggi di Saudi dan kawasan Arab Teluk. Banyak laki/perempuan yang akhirnya memilih untuk hidup sendiri ketimbang menjalin ikatan pernikahan yang begitu njlimet dan berujung tanpa kejelasan.
Jabal Dhahran, Arabia