Banyak orang salah paham atau kurang cermat dalam melihat fenomena Salafisme dan Wahabisme. Bagi banyak orang, “kaum Wahabi” dan Salafi selalu diidentikkan dengan intoleransi dan kekerasan. Saya rasa pandangan ini tidak tepat. Tidak semua kaum “sawah” (Salafi-Wahabi) itu bersikap intoleran, anti-pluralisme, dan pro-kekerasan. Dengan kata lain, selain kelompok “Sawah ekstrim” yang gemar melakukan pemaksaan dan kekerasan terhadap orang dan kelompok lain itu, juga ada kaum “Sawah moderat” yang meskipun memiliki pandangan keagamaan konservatif (seperti kaum “Sawah ekstrim”) tetapi tidak memaksakan pandangan dan keyakinannya itu kepada orang atau kelompok lain.

Kesimpulan ini saya dapatkan setelah beberapa tahun bergumul dengan kelompok “Sawah” ini. Para kolega dan murid-muridku banyak sekali yang dari kelompok Sawah ini tetapi mereka tidak “fanatik buta” ataupun “membabi buta”. Pandangan dan sikap keislamannya memang konservatif (misalnya mengharamkan musik dan menonton film, berjenggot lebat, dan lain sebagainya) tetapi pada waktu yang bersamaan juga fleksibel misalnya (biasa mengenakan celana pendek, jeans, kaos, dlsb).

Mereka juga tidak ngotot mengharuskan apalagi memaksa orang/kelompok lain mengikuti sikap, pandangan, dan keyakinannya. Bagi mereka, konservatisme itu sifatnya internal (untuk diri sendiri) bukan eksternal (dipaksakan kepada orang lain). Dengan kata lain, ke dalam konservatif, ke luar toleran. Selain itu, mereka juga senang sekali mengeksplorasi kebudayaan masyarakat non-Muslim. Bukannya mengafir-sesatkan, mereka malah tertarik menyelidiki sejarah dan asal-asul kebudayaan kelompok lain itu yang kebetulan sama dengan tradisi dan kebudayaan mereka.

Hipotesis saya, meskipun tentu saja ada sejumlah pengaruh dari Timur Tengah (finansial maupun ideologi), kaum “Sawah ekstrim” yang hobi melakukan pemaksaan dan kekerasan komunal di Indonesia itu merupakan “genuine” fenomena lokal dan bersifat lokal. Kalaupun mereka mencatut Saudi atau Timur Tengah itu sebatas untuk mencari “legitimasi keislaman” saja karena ada anggapan Arab, khususnya Saudi, sebagai “sacred geography” (“teritori suci”) bagi umat Islam. Seolah-olah kalau sudah ada “stempel Arab”, apa yang mereka lakukan itu menjadi “religius” atau “Islami”. Padahal tidak. Itu hanya bungkus saja untuk menutupi watak dan sikap arogansi kaum Sawah ekstrim ini. [SQ]

Artikulli paraprakArab Kristen, Arab Yahudi, dan Injil-Talmud Bahasa Arab
Artikulli tjetërDimensi Politik-Ekonomi Konflik Sunni-Syiah Di Timur Tengah
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini