Beranda Facebook Post Sepenggal Kisah dari Kapal Umsini

Sepenggal Kisah dari Kapal Umsini

2416
1

Saat itu, sekitar 17 tahun lalu, Ambon masih mencekam. Para milisi Kristen dan Muslim masih terlibat saling bakar, saling serang, dan saling bunuh. Situasi semakin memburuk karena para oknum aparat keamanan dan “milisi asing” seperti Laskar Jihad terlibat dalam kekerasan sektarian itu.

KM. Umsini

Publik Indonesia, dan dunia, menganggap telah terjadi perang Kristen-Muslim di Ambon dan Maluku secara umum. Para sejarawan dan ilmuwan sosial menganggap tragedi Ambon / Maluku sebagai yang pertama dalam sejarah sosial Indonesia dimana umat Kristen dan kaum Muslim terlibat aksi kekerasan yang memilukan.

Sejumlah lembaga riset dan peneliti menaksir “perang saudara” itu telah memakan korban puluhan ribu jiwa dan kehancuran properti yang tak ternilai harganya.
Di saat milisi Kristen dan Muslim terlibat saling bunuh, saya (dan sejumlah teman Muslim) waktu itu justru terapung-apung di KM. Umsini bersama para pendeta Kristen yang membawa kami dari Surabaya ke Jayapura. Kami tinggal sekamar di kapal milik PT Pelni itu.

Malam itu, saat kapal sampai di Pelabuhan Yos Sudarso di Ambon, demi keamanan dan keselamatan, kami dilarang keluar kapal. Suasana agak mencekam. Kami khawatir ada milisi yang menyusup masuk kapal. Tapi kami di dalam kapal berusaha tenang dan mengusir kecemasan dengan saling berbagi cerita lucu yang membuat kami tertawa tergelak terpingkal-pingkal atau sesekali main gaple (kartu remi).

Teman-temanku para pendeta rata-rata jago mbanyol. 11-12 lah dengan saya yang juga suka melucu he he. Kami berbagi cerita lucu tentang apa saja, baik tentang umat Islam maupun umat Kristen, baik tentang kehidupan kiai-santri maupun pendeta dan jemaat gereja tanpa merasa tersinggung sedikit pun. Kami saling “membully” tapi dengan nada canda. Bukannya marah tapi malah terkekeh sampai kepentut-pentut he he.

Saat itu saya melakukan “perjalanan historis” yang fenomenal dan tak terlupakan, meski tentu saja tidak sefenomenal Cheng Ho, Columbus, atau Ibnu Battutah, yakni naik KM Umsini dari pelabuhan Surabaya menuju Jayapura. Perjalanan laut itu memakan waktu sekitar tujuh hari tujuh malam. Waktu itu adalah perjalanan laut pertama kali dalam sejarah hidupku sehingga nyaris 1-2 hari pertama, saya teler “mabok laut” muntah-muntah dan kepala pusing keliyengan seperti habis menenggak tuak cap jenggot.

Perjalanan ini merupakan bagian dari kegiatan “Kuliah Alih Tahun” (KAT) yang diorganisir oleh Persetia (Perhimpunan Sekoah-Sekolah Teologi Indonesia). Program Pascasarjana Agama dan Masyarakat (Sosiologi Agama) UKSW, dimana saya belajar dulu, mewajibkan mahasiswa untuk mengikuti KAT ini. Setiap tahun, lokasi KAT berpindah-pindah.

Waktu itu kebetulan jadwal KAT tahun 2001 yang saya ikuti bertempat di Abepura, Papua. Kuliah KAT biasanya memakan waktu sekitar 2 bulan intensif belajar masalah agama dan kemasyarakatan dengan nara sumber (biasanya) para sarjana agama dan ilmuwan sosial dari luar negeri. Kalau tidak salah ingat, dulu yang memberi kuliah adalah Prof. Riess Pottervield dan Prof. Speed Lease, dipandu oleh Pak John Titaley.

Kenapa kami dulu berangkat pakai KM Umsini? Karena nggak punya uang untuk membeli tiket pesawat ke Jayapura. Karena nggak semua mahasiswa punya uang, maka kami sepakat untuk bareng-bareng solidaritas naik KM Umsini.

Sejumlah pendeta membawa “barang bekal” yang banyak sekali untuk dibagi dan dinikmati bersama (mie instan, kopi, gula, roti, snack dan masih banyak lagi).
Meskipun capek nggak ketulungan, akhirnya di pagi buta menjelang subuh, KM Umsini berhasil mencapai pelabuhan Jayapura setelah semingguan terapung-apung di laut.

Sungguh perjalanan itu tak bisa kulupakan, bukan hanya lantaran saya “mabuk laut” tetapi juga karena kami bisa berbagi cerita, ide, pengalaman, dan humor dengan teman-teman seiman yang beda agama tanpa diiringi dengan hujatan dan hinaan serta sikap saling merendahkan keyakinan, keimanan dan agama masing-masing.

Jabal Dhahran, Arabia

Artikulli paraprakKaum Islamis Datang, Budaya Toleransi Hilang
Artikulli tjetërPerjuangan Meraih Beasiswa Kuliah (13)
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.

1 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini