Renungan akhir pekan: Kenapa sebagian orang dan kelompok tertentu di Indonesia tidak suka dengan aneka ragam perbedaan dan gampang marah melihat kemajemukan. Lihat saja: beda etnis konflik, beda agama berantem, beda sekte agama ngamuk, beda tempat ibadah jengkel, beda organisasi ribut, beda mazhab emosi, beda pendapat ngambek, beda pakaian ngomel, beda kelamin tegang he he. Inikah yang disebut “masyarakat puber”? Masalah “pubertas” bukan hanya persoalan remaja tetapi juga orang dewasa. Lihat saja, banyak orang-orang jenggoten yang ngamukan, kan? he he
Bukankah keragaman jauh lebih indah ketimbang keseragaman? Kebayang gak apa jadinya jika misalnya di dunia ini semua orang itu sama: etnisnya, bahasanya, jenis kelaminnya, rupanya, bentuknya dan seterusnya.
Kebayang juga gak apa jadinya kalau semua hewan dan tumbuh-tumbuhan itu sejenis dan serupa? Coba banyangkan jika semua orang di bumi ini berpakaian sama (berjubah semua, bersarung semua, berjas semua, berjilbab semua, berniqab semua, berkorpri semua ha ha dan lain sebagainya). Membosankan kan?
Ini bumi, bukan mars. Kita ini manusia bukan malaikat atau aliens. Meskipun kalian “semangat 45” untuk menyeragamkan orang, keseragaman itu tidak akan pernah terjadi di dunia ini. Sampai bumi ini runtuh berkeping-keping pun, kemajemukan itu tidak akan sirna karena memang itulah “fitrah” dari alam jagat raya ini. Karena itu kemajemukan harus disyukuri bukan malah diratapi.
Perbedaan harus disikapi dengan kedewasaan bukan kekanak-kanakan. Karena itu saya sering mengatakan orang itu, apalagi umat beragama, harus “cerdas” dan “dewasa”: cerdas berfikir, dewasa bertindak. Jangan grusa-grusu. Malu kan sudah jenggoten kok ngamukan?