Saya melihat hubungan antara Arab (khususnya Arab Teluk), Barat (khususnya Amerika) dan Indonesia (khususnya yang pro-Arab) itu unik, menarik dan lucu. Negara-negara Arab, khususnya Teluk itu “sangat Barat” dan jelas-jelas pro-Amerika (dan Eropa). Hampir semua produk-produk Barat dari yang ecek-ecek (semacam restoran fast foods) sampai yang berkelas dan bermerk untuk kalangan berduit, semua ada di kawasan ini. Mall-mall megah dibangun, antara lain, untuk menampung produk-produk Barat tadi. Warga Arab menjadi konsumen setia karena memang mereka hobi shopping (selain sembahyang dan membangun masjid).
Orang-orang Barat juga mendapat “perlakuan spesial” disini, khususnya yang bekerja di sektor industri (gaji tinggi, fasilitas melimpah). Mayoritas orang-orang Arab juga sangat hormat dan inferior dengan orang-orang Barat. Saya sering jalan bareng bersama “kolega bule”-ku ke tempat pameran dan sebagainya, dan mereka sering, kalau bukan selalu, menganggap saya adalah “jongosnya”.
Bagi orang-orang Arab, non-bule darimanapun asalnya apapun agama mereka (Islam kek, Kristen kek) adalah “kelas buruh” sementara orang bule -sekere dan sebego apapun mereka, beragama atau tidak beragama—semua dianggap “kelas elit”. Mereka baru menaruh rasa hormat, kalau sudah tahu “siapa kita”.
Sejumlah universitas-universitas beken di Amerika juga membuka cabang di Arab Teluk, selain Saudi, (Georgetown University, New York Univ, Texas A & M, Carnegie Melon Univ, dan lain-lain). Di bawah bendera King Abdullah Scholarship, Saudi telah mengirim lebih dari 150 ribu warganya untuk belajar di kampus-kampus Barat, khususnya Amerika, Kanada dan Eropa (juga Australia). Tidak ada satu pun yang disuruh belajar ke Indonesia!! Sementara (sebagian) warga Indonesia memimpikan belajar di Arab.
Lucunya, para fans Arab di Indonesia, mereka mati-matian meng-tuan-kan Arab, sementara Arab sendiri tidak “menggubris” mereka. Para “cheerleaders” Arab ini juga mati-matian anti-Barat padahal orang-orang Arab mati-matian membela Barat. Saya bukan anti-Arab atau anti-Barat karena teman-teman baikku banyak sekali dari “dua dunia” ini. Saya juga bukan pro-Arab atau pro-Barat. Saya adalah saya yang tetap orang kampung Jawa. Daripada “menjadi Arab” atau “menjadi Barat”, akan lebih baik jika kita menjadi “diri kita sendiri” yang tetap menghargai warisan tradisi dan kebudayaan leluhur kita. [SQ]