Bagi yang mendalami masalah studi-studi keislaman, maka akan segera paham jika kata “jihad” memiliki makna yang beraneka ragam. Implementasi kata “jihad” pun beraneka ragam. Banyak ayat Al-Qur’an dan Hadis Nabi Muhammad yang menjelaskan tentang aneka ragam makna dan implementasi “jihad” ini.

Karena itu jika ada kelompok dan tokoh agama yang menganggap “jihad” semata-mata sebagai “berperang” atau “angkat senjata” adalah keliru besar sekaligus sebagai bentuk kebohongan publik. Kata “perang” dalam Bahasa Arab klasik bisa “al-harb” atau “al-ghazw,” bukan “jihad”.

Dengan kata lain, “jihad” yang makna awalnya adalah sebuah “usaha atau perjuangan keras” tidak memiliki makna tunggal. Jihad bisa berarti berjuangan fisik angkat senjata melawan penjajah dan kaum penindas. Tapi pada saat yang sama, jihad juga bisa bermakna perjuangan spiritual dalam diri kita untuk melawan dan menundukkan perbuatan jahat dan dosa.

Jihad juga bisa bermakna usaha keras lahir-batin untuk menjadi seorang beriman yang baik. Kerja keras menggunakan perangkat intelektual dalam rangka untuk memikirkan makna dan kebesaran ciptaan Tuhan juga bisa dikatakan sebagai bentuk jihad.

Ketika Nabi Muhammad ditanya tentang “jihad”, beliau juga memberi jawaban yang bermacam-macam sesuai dengan konteks dan “sikon” si penanya. Kadang beliau mengatakan haji dan umrah itu sebagai jihad. Lain waktu beliau menjawab berbakti kepada kedua orang tua juga sebuah bentuk jihad yang mulia. Membesarkan dan mendidik anak agar kelak menjadi “orang pintar” juga bagian dari jihad yang sangat agung dalam Islam. Dan masih banyak lagi contoh lain yang disabdakan dan dipraktekkan oleh Nabi Muhammad.

Nabi Muhammad bahkan memandang jihad melawan hawa nafsu sebagai bentuk jihad yang jauh lebih besar ketimbang perang yang ia sebut sebagai “jihad kecil”. Nafsu memang penyakit manusia yang susah untuk dihilangkan dan diperangi: nafsu terhadap kekuasaan, nafsu terhadap kekayaan, nafsu terhadap kemewahan, nafsu terhadap popularitas, dlsb. Nafsu serakah umat manusia inilah yang menurunkan derajat mereka dari semula sebagai “makhluk mulia” menjadi makhluk yang “hina-dina”.

Karena dorongan nafsu inilah, akhirnya banyak manusia yang tenggelam dalam air comberan. Nafsu inilah yang membuat banyak orang saling caci, saling umpat, saling merendahkan, saling berkelai, dan bahkan saling bunuh satu sama lain tidak peduli satu agama, satu iman, satu Tuhan, satu etnis, satu suku-bangsa, satu negara, dan bahkan satu keluarga. Karena itu tidaklah salah jika Nabi Muhammad menganggap jihad melawan hawa nafsu ini sebagai “jihad agung”.

Jadi kalau ingin berjihad, tidak perlu jauh-jauh ke Irak atau Suriah, atau capek-capek di jalan-jalan Jakarta. Cukup memerangi diri kita sendiri. Itu sudah bentuk jihad yang luar biasa besar dan mulianya. [SQ]

Artikulli paraprakAl-Qur’an itu “Kitab Liberal”
Artikulli tjetërAl-Qur’an Itu Firman Tuhan atau “Firman Naik”?
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.