Sekedar menambahi postingan saya kemarin: jangan gampang percaya & terkecoh dengan klaim-klaim para dedengkot teroris yg tergabung di ISIS atau Al-Qaedah. Klaim-klaim itu sekedar untuk menunjukkan bahwa mereka itu masih kuat, hebat, solid, dan berpengaruh. Saya justru melihat sebaliknya: ISIS saat ini sudah tidak solid, lembek, tidak terorganisir, dan kacau-balau akibat friksi-friksi internal kelompok ini. Sejumlah klaim-klaim mereka terbukti omong-kosong.
Seperti kasus terorisme (penembakan massal & usaha pengeboman) di San Bernardino, California, awal Desember lalu, petinggi ISIS juga mengkalim “bertanggung jawab” atas peristiwa itu. Kenyataanya si pelaku, pasangan suami-istri (Syed Rizwan Farook & Tashfeen Malik, yang satu warga AS, satunya permanent resident–keturunan Pakistan) tidak ada sangkut pautnya dengan ISIS.
Pemerintah AS menyatakan bahwa sumber terorisme adalah “murni dalam negeri” yang tidak ada hubungannya dengan jaringan-jaringan terorisme internasional sama seperti pelaku “Bom Maraton” di Boston dulu.
Di zaman internet saat ini, orang bisa dengan mudah belajar ideologi-ideologi ekstremisme dan tata-cara pembuatan bom. Sebab-sebab terorisme bisa bermacam-macam : bisa karena frustasi, jengkel, trauma, balas dendam, dan lain sebagainya, tidak melulu bersifat “agama”.
Klaim itu bisa bermacam-macam maknanya. Bisa saja klaim itu adalah sebuah cara, taktik & strategi para gembong ISIS utk mengesankan diri sebagai kelompok militan transnasional yang “wow”. Tujuannya supaya masih tetap diperhitungkan eksistensinya sehingga mereka tetap mendapatkan “asupan” & “ransom” dari sejumlah kelompok & negara yg memiliki kepentingan geo politik-ekonomi-bisnis di kawasan Arab & Timur Tengah.
Jika ada “teroris lokal” amatir yg mengklaim “sindikat ISIS”, juga jangan mudah percaya. Klaim mereka bisa saja supaya dikatakan “wow” juga seperti dulu Ja’far Thalib & Abu Bakar Ba’asyir yang mengaku “berteman” dengan Osama bin Laden.
Seperti laiknya organisasi-organisasi lain, kelompok-kelompok militan-teroris juga sangat kompleks dan warna-warni (aktornya, motifnya, asal-usulnya, kepentingannya, tujuannya, dan lain sebagainya). Sebagaimana parpol atau ormas, tingkat kesolidan ISIS juga naik-turun. Perbedaan, konflik & kekerasan antar-anggota/pimpinan kelompok militan-teroris sudah biasa terjadi.
Ingat bukankah dulu Abdullah Azzam, ideolog & pemimpin spiritual Mujahidin Afghanistan, juga tewas dibunuh oleh murid-murid & teman-temannya sendiri di akhir 1980an ? Begitu pula para gembong “perusahaan teror” kontemporer seperti Ayman Zawahiri (bos al-Qaedah), Abu Bakar al-Baghdadi (CEO “Negara Islam Irak”), dan Abu Muhammad al-Julani (“Presdir” Front Nusrah Suriah), misalnya, juga tidak pernah akur.
Hasil studi-studi saya tentang terorisme menunjukkan bahwa konflik & perseteruan antar-bandit terorisme itu terjadi di semua tempat, di semua negara. Jadi harus cermat dalam melihat kompleksitas, pluralitas, dan dinamika perubahan para preman bertopeng agama ini, jangan sampai larut & terlena dengan “irama gendang kekerasan” yang mereka mainkan…