Selain masyarakat Arab kontemporer lebih suka menggunakan Bahasa Arab gaul atau “bahasa / dialek colloquial”, faktor lain yang menyebabkan merosotnya Bahasa Arab standar dan Bahasa Arab klasik (fushah) adalah berkembangnya Bahasa Inggris sebagai “bahasa elit dan bisnis” di kawasan Arab Teluk.

Di sejumlah “negara Arab” seperti Lebanon atau Maroko bahkan Bahasa Perancis masuk daftar “bahasa elit”. Sejak beberapa dekade silam, Bahasa Inggris memang telah menjelma menjadi bahasa lingua franca kedua di “dunia Arab” khususnya Arab Teluk.

Ada beberapa faktor yang turut memberi kontribusi terhadap pesatnya penggunaan dan perkembangan “Bahasa Londo” ini. Pertama adalah berjibunnya kaum non-Arab migran, khususnya dari India, Pakistan, Bangladesh, Sri Lanka, Filipina, Thailand, sejumlah negara di Eropa dan Afrika, juga Indonesia.

Sangking banyaknya bahkan kaum migran ini menjadi mayoritas dan dominan di sejumlah negara seperti Uni Emirat Arab, Kuwait, Bahrain, atau Oman. Di Saudi, 30% penduduknya juga migran.

Sudah bukan asing lagi jika kita “keluyuran” ke kawasan Arab Teluk, wabil khusus negara-negara yang tergabung dalam Gulf Cooperation Council, kita akan dengan mudah mendapatkan Bahasa Inggris berdampingan dengan Bahasa Arab: di toko-toko, mall, kantor, sekolah, jalan, rumah sakit / klinik, tempat ibadah, papan iklan, dan lain sebagainya. Pelayanan publik atau transaksi jual-beli juga sudah biasa menggunakan salah satu dari dua bahasa ini.

Dalam batas tertentu, kedudukan Bahasa Inggris bahkan “lebih terhormat” dan “lebih elit” sebagai simbol “kelas menengah-terdidik” atau “ekspat profesional” bukan “pekerja kasar” (buruh, sopir, pembantu, dan lain sebagainya).

 Karena Bahasa Inggris adalah “bahasa bule” dan “warga bule” disini adalah simbol kelas terdidik, kaum profesional, wong gede, orang maju dan berperadaban dan seterusnya (kontras dengan warga non-bule), maka status Bahasa Inggris pun ikut-ikutan naik dan “terhormat.”

Ada asumsi bahwa “pekerja kasar” kaum migran tidak bisa berbahasa Inggris. Mereka hanya menggunakan “Bahasa Arab pasaran” dalam berkomunikasi dan bertransaksi–sesuatu yang “sudah lumrah dan jamak” bukan “spesial”.

Karena Bahasa Inggris menduduki “tempat atau maqam mulia”, ada semacam “tips”, khususnya bagi perempuan, jika mereka menggunakan Bahasa Inggris dalam berkomunikasi dan bertransaksi jual-beli di tempat2 publik seperti pasar atau mall, maka kaum lelaki, khususnya yang “berhidung belang” baik Arab maupun bukan akan lebih respek dan tidak berani menggodanya…

Artikulli paraprakArab Menjadi Barat, Indonesia Menjadi Arab (2)
Artikulli tjetërArab Menjadi Barat, Indonesia Menjadi Arab (4)
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.