Suatu saat saya mengadakan “simulasi” mahasiswaku yang 99,99 persen beretnik Arab tentang “kebudayaan Barat” dan “kebudayaan Arab” yang mereka tidak sukai.

“Budaya Barat” yang tidak disenangi oleh para mahasiswa antara lain adalah free sex, kawin sesama jenis, “budaya telanjang” bagi perempuan dan sebagainya -sesuatu yang sebetulnya sudah lumrah kita dengar. Lalu, apa watak dan “budaya Arab” yang mereka benci? Mereka tulis: rasisme, tribalisme, fanatisisme, etnosentrisme, kekerasan, kecerobohan mengemudi, hedonisme dan sebagainya.

Saya kemudian tanya: “Apakah itu sesuai dengan nilai-nilai Islam?” Mereka jawab: “Tidak”. Saya tanya lagi ke mereka: “Lalu apakah umat Islam berhasil menyelesaikan “watak dan budaya Arab” yang Anda tidak sukai ini? Dengan serentak mereka jawab: “Tidakkkk…”

Jawaban mereka itu, bagi saya adalah sebuah cermin bahwa sistem sosial-politik-ekonomi apapun, “sistem Islam” sekalipun, bukan jaminan bahwa persoalan-persoalan sosial akut di masyarakat bisa diselesaikan karena memang semua tergantung pada kualitas manusianya, bukan “relijiusitas” sistem politik-pemerintahannya. [SQ]

Artikulli paraprakMahar, Poligami, dan Nikah Lintas Sekte
Artikulli tjetërSaudi: Negeri Kaum Lelaki
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.