Sebutan Saudi sebagai “negeri kaum lelaki” ada benarnya. Dimana-mana aktivitas banyak didominasi oleh para pria termasuk di pasar tradisional. Belum lama ini saya jalan-jalan ke sebuah pasar tradisional di sebuah kota di Provinsi Asy Sharqiyah. Nama pasar itu adalah “Pasar Rebo” karena konon hanya tiap hari Rabu saja saja pasar tradisional itu ada. Jika bukan hari Rabu, maka tempat itu merupakan hamparan kosong melompong. Kontras dengan di Indonesia, hampir sebagian besar “penghuni” pasar ini, baik penjual maupun pembeli, semua laki-laki.
Aneka barang dagangan dijajakan di pasar ini: sayuran, buah-buahan, pakaian, burung, ayam, cemilan, minuman dan sebagainya. Saya juga melihat ada yang jualan “indomie” (ah indomie, jangankan di bumi, di planet mars juga ada kali). Ada juga segelintir kaum perempuan yang jualan barang-barang kerajinan rumah tangga tapi ya itu “segelintir”.
Bukan hanya di pasar tradisional saja sebetulnya tetapi juga di pusat-pusat perbelanjaan “supermarket”, banyak laki-laki yang mendorong troli belanjaan. Lantaran sudah terbiasa dengan “jual-beli” di pasar, konon laki-laki lebih hafal harga-harga cabe, sayur-mayur, dan lauk-pauk ketimbang perempuan.
Menurut sejumlah informan, ada beberapa alasan kenapa Laki-laki yang belanja bukan perempuan. Alasan pertama konon supaya lebih ngirit dan efisien. Kalau laki-laki yang belanja, mereka “to the point” seperti apa yang mereka catat di rumah. Kebutuhan-kebutuhan yang mereka catat di rumah sebelum belanja itulah yang mereka beli. Sementara kalau perempuan yang belanja, mereka biasa beli ini-itu atau barang-barang yang tidak dicatat dalam “daftar belanja”. Singkatnya, kalau perempuan yang belanja akan boros. Alasan berikutnya konon untuk “memanjakan” istri supaya tidak capek-capek belanja.
Pekerjaan memang tidak memiliki jenis kelamin, jadi secara teori siapa saja bisa melakukan apa saja. Tetapi dalam perkembangannya, manusialah yang menciptakan “jenis kelamin” pekerjaan itu sehingga ada sejumlah “aktivitas lelaki” dan “aktivitas perempuan”. Penciptaan “division of labor” itu ada yang dilatarbelakangani faktor sosial-politik-ekonomi tetapi ada juga yang dilandasi oleh ajaran-ajaran normatif agama. [SQ]