Budaya hedonisme dan kecintaan terhadap material dan hal-ikhwal duniawiyah itu tidak mengenal agama dan aliran: kaum agama dan sekuler, kaum moderat dan konservatif, kaum berjenggot dan berkumis, kaum berjubah dan berjins semua berpotensi menjadi kaum hedonis.
Sebuah survei yang dirilis oleh Arab News beberapa waktu lalu, misalnya, menujukkan bahwa hampir 90 persen warga Arab Teluk, termasuk Saudi, hobi menghambur-hamburkan uang untuk berbelanja barang-barang mewah (mobil, perhiasan), pakaian-pakaian bermerk, gadget-gadget teranyar, plesiran ke luar negeri, pesta-pesta besar dan sebagainya.
Makanya Anda jangan heran kalau melihat mall-mall megah berhamburan di kawasan ini dan para pebisnis (termasuk orang-orang Barat) mendulang banyak untung di sini karena “kultur” mereka yang hobi belanja dan “ngemol”.
Karena uang gaji dirasa tidak cukup untuk berhepi-hepi, mereka pun berlomba-lomba pinjam uang ke bank. Mereka juga dikenal royal tanpa kontrol dalam memakai kartu kredit. Tidak ada bunga bank karena haram jadi enak kalau mau pinjam uang di sini. Namun problemnya adalah mereka tidak mau (atau mungkin tidak tahu?) menggunakan uang pinjaman bank itu “secara bijak” untuk kebutuhan-kebutuhan yang mendasar. Sebaliknya, mereka gunakan uang hasil ngutang bank itu untuk berfoya-foya tadi. Akibatnya banyak warga di sini yang terjerat utang bank.
Hal lain yang ditunjukkan dalam survei tadi adalah: mayoritas warga Arab (sekitar 89 persen) tidak mau berhemat dan menabung untuk masa depan mereka dan anak-cucu mereka. Pemandangan ini kontras dengan warga migran (dari India, Pakistan, Bangladesh, Filipina, dan lain-lain) yang banyak sekali di area ini yang meskipun berpenghasilan kecil tidak seperti majikan-majikan mereka, tapi gemar menabung dan mengirim uang itu ke keluarga di negara-negara mereka baik untuk keperluan sekolah anak-anak, kebutuhan keluarga, nyicil rumah, beli properti ini-itu dan sebagainya.
Jadi, apapun “jenis keislaman” dan pandangan keagamaan warga Arab, seleranya tetap sama: belanja dan plesir. [SQ]