Saya sudah cukup sering memosting tentang ulama di akun “Pesbuk”-ku (silakan diubek-ubek sendiri jika berminat). Postingan ini hanya menambahi saja. Makna dan peran ulama (jamak dari kata “alim”: “orang yang berilmu”) ini mengalami “proses evolusi”, pergeseran dan perubahan dari waktu ke waktu.
Sudah saya katakan sebelumnya, sebelum era Turki Usmani (sejak 13/14 M), sebutan ulama ini dalam sejarah Islam bersifat umum (yaitu “orang-orang yang meguasai ilmu pengetahuan”–pengetahuan apa saja, disiplin ilmu apa saja), tidak merujuk spesifik sebagai “ahli agama Islam / ahli ilmu-ilmu keislaman” seperti kelak dilakukan oleh para penguasa rezim Turki Usmani.
Bahkan kata atau sebutan “ulama” ini dulu juga dipakai bukan hanya para sarjana Muslim saja tetapi juga para ilmuwan non-Muslim sejak zaman Dinasti Ummayah dan puncaknya pada masa Dinasti Abbasiyah yang banyak berperan penting dalam pengembangan berbagai disiplin keilmuan yang turut mengantarkan era “kejayaan Islam” pada abad pertengahan.
Ada banyak sekali para ilmuwan non-Muslim dulu (Yahudi, Kristen, Sebian, Assyria, Persi, China, India, Yunani, dlsb) yang direkrut para elit politik-pemerintah Muslim untuk turut membantu mengembangkan berbagai disiplin keilmuan: asrtronomi, geografi, matematika, kimia, fisika, kedokteran, filsafat, zoologi, teologi, ilmu pemerintahan, sejarah, sastra, dan masih banyak lagi.
Beberapa nama ilmuwan beken non-Muslim kala itu antara lain Hunain ibnu Ishaq, Tsabit bin Qurra, Qusta ibnu Luqa, Masawaiys, Patriakh Eutychius, Jibril ibn Bukhtishu, Bar-Hebraeus, dlsb (kapan-kapan akan saya uraikan peran dan kontribusi mereka bagi kaum Muslim dalam sejarah Islam). Sejarawan Bar-Hebraeus bahkan diminta oleh petinggi Muslim untuk menerjemahkan Injil dari Bahasa Aram ke Bahasa Arab.
Para sarjana Kristen Nestorian dulu yang banyak berperan, meskipun juga ada para ilmuwan Kristen non-Nestorian yang memberi kontribusi positif bagi perkembangan peradaban Islam. Ilmuwan Kristen Nestorian Hunain bin Ishaq bahkan dulu mendapat julukan “Syaikh al-‘Ulama” (baca, “syaikh-nya para ilmuwan”) karena menguasai berbagai disiplin keilmuan dan telah banyak menerjemahkan ratusan karya-karya asing (khususnya dari Yunani dan India) ke dalam Bahasa Arab.
Baitul Hikmah (yang didirikan oleh Khalifah Harun al-Rasyid) dulu menjadi tempat ngumpulnya para ilmuwan ini, selain Universitas Nidhamiyyah di Baghdad. Sekolahan dan perpustakaan ini diinspirasi oleh Sekolah Nissibi dan Edessa yang sudah lama menjadi “markas ilmu pengetahuan” masyarakat Kristen, Persi, dan non-Muslim lain.
Dulu, iklim belajar-mengajar sangat terbuka. Banyak ulama/ilmuwan Muslim yang belajar pada guru-guru syaikh non-Muslim. Juga sebalinya, banyak sekali para ilmuwan Kristen dan non-Muslim lain yang berguru kepada ulama Muslim ternama, bukan hanya di zaman Ummayah dan Abbasiyah saja tetapi juga di zaman Dinasti Andalusiyah di Spanyol.
Sebutan atau pemakaian kata “ulama” yang sangat umum ini bisa jadi karena Al-Qur’an sendiri menyebut kata “alim” di beberapa ayat yang merujuk pada kata “ilmuwan” atau scientist (hard sciences bukan “ilmu-ilmu keislaman”) dan rujukannya pada para ilmuwan Yahudi.
Apapun implementasi sebutan “ulama” itu, yang jelas kata ini merujuk pada “ilmuwan” yang memiliki banyak karya, berwawasan luas, dan mumpuni di berbagai disiplin keilmuan, bukan merujuk pada para penceramah atau dai seperti dipahami oleh sejumlah kelompok Islam di Indonesia dewasa ini. [SQ]