Akhir semester adalah fase yang sangat menyenangkan bagi para guru seperti saya. Bukan hanya karena sebentar lagi “break” semester tapi lantaran pada setiap minggu-minggu akhir semester selalu saya gunakan untuk “presentasi mahasiswa” tentang aneka-ragam topik dan isu-isu sosial-politik-keagamaan menyangkut masyarakat dan kebudayaan Arab: tentang hak-hak kaum perempuan, sistem pemakaman, aneka tarian (dances), pernikahan, relasi antar-suku, family dan kinship, turisme, budaya Bedouin, kaum migran, “pasar gelap”, etnosentrisme Arab, “polisi Syariat”, militansi, kekerasan, terorisme, dan sebaiganya.

Ada pula mahasiswa yang presentasi tentang ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) karena ada teman dan keluarganya yang bergabung dengan kelompok ekstrim ini di Suriah dan Irak.

Pada awalnya mereka semangat untuk berjihad demi Islam dan melawan keangkaramurkaan, tapi pada akhirnya mereka kecewa dan “tobat” setelah menyaksikan propaganda-propaganda kosong, motivasi ekonomi-politik dan kejahatan-kejahatan anggota ISIS itu sendiri yang jauh dari norma-norma keislaman.

Dari sini saya banyak belajar tentang “jeroan” atau “daleman” masyarakat Arab. Karena mahasiswa saya tidak hanya dari Saudi, tapi juga Yaman, Bahrain, Lebanon, Palestina, Sudan, Mesir, dan lain sebagainya (bukan hanya Sunni tapi juga Syiah), maka informasi dan data yang terhimpun pun semakin kaya dan warna-warni.

Dari sini pula saya belajar tentang pluralitas atau keanekaragaman pandangan dan wawasan masyarakat Arab yang jauh dari kesan monolitik dan seragam bahkan untuk isu-isu menyangkut soal-soal fundamental keislaman dan tradisi-kebudayaan Arab sekalipun, mereka berbeda pendapat. Misalnya tentang pemisahan laki-laki dan perempuan, sebagian bilang ini masalah “agama”, yang lain ngotot bahwa soal ini adalah masalah “budaya Arabia” dan tidak ada sangkut-pautnya dengan Islam.

Saya hanya “memoderatori” saja perdebatan mereka dan sesekali mengajukan pertanyaan: “Jika memang pemisahan laki-laki-perempuan itu masalah agama, apakah warga Saudi yang ke Luar Negeri (di manapun) mereka juga bersikukuh untuk pisah laki dan perempuan?” Mereka serentak jawab “tidak”. “Kalau tidak, berarti bukan masalah agama donk?” tanyaku. Sebagian mengiyakan, sebagian ketawa, sebagian terdiam, sebagian garuk-garuk kepala, sebagian lagi kelihatan seperti mikir.

Menariknya lagi, tidak ada satupun diantara mereka yang menganggap pakaian jubah itu sebagai “pakaian Islami” tetapi “pakaian [budaya] Arab”. Ini tentu saja kontras dengan pandangan dan keyakinan sejumlah kelompok Islam di Indonesia yang memandang jubah sebagai “pakaian Islami”. [SQ]

Artikulli paraprakMusim Haji dan Liburan Ke Eropa
Artikulli tjetërJamaah Salat Jum’at di Masjid Dhahran
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.