Masjid Dhahran adalah nama sebutan untuk “masjid jami'” di kampusku. Sepertinya ada puluhan masjid di area kampus ini. Itu belum termasuk mushala-mushala kecil yang hampir ada di setiap gedung di kampus. Masjid Jami’ adalah sebutan untuk “masjid raya” tempat untuk berkumpulnya salat-salat tertentu seperti salat Jum’at, salat Idul Fitri dan salat Idul Adha. Tentu saja, masjid jami’ ini juga bisa dipakai untuk salat-salat lainnya. Meskipun banyak masjid, hanya di Masjid Dhahran ini untuk Jumatan.

Karena penduduk kampus dari berbagai suku-bangsa, negara dan mazhab Islam, maka kebayang kan bagaimana warna-warninya para peserta Jumatan: pakaiannya, tata-cara salatnya. Dari segi busana misalnya, ada yang memakai jubah Saudi, jubah Sudan, gamis Pakistan (shalwar kameez), sarong Yaman, jeans, baju, kaos, training, bahkan celana pendek atau kolor yang hanya menutup lutut. Memang sih “aurat” laki-laki cuma sampai lutut jadi secara teori, salat tidak masalah asal lutut tertutup. Penutup kepalanya juga beraneka ragam: ada yang pakai surban (udeng-udeng), “kupluk kaji”, atau tidak pakai penutup sama sekali.

Karena kaum Muslim di kampus berasal dari berbagai mazhab dalam Islam, tata-cara salatnya pun warna-warni: takbirnya, sedakepnya, rukuknya, takhiyatnya, duduknya, gerakan kepalanya, bahkan cara ngacung jari telunjuk juga berlainan: ada yang diam-lurus, ada yang utak-utik (gerak-gerak), ada yang mlungker, dan lain-lain.

Meskipun berbeda-beda, tetapi mereka rukun tidak saling mengklaim kebenaran tafsir dan “kemurnian” pakaian dan tata-cara salat. Masuk masjid sama-sama, keluar masjid pun sama-sama uyel-uyelan. Indahnya sebuah kebersamaan dan saling pengertian, bukan? Kita boleh saja meyakini “tafsir agama” kita setengah mati tetapi jangan paksakan tafsir kita itu kepada orang lain. Banyak orang sebetulnya mempraktekkan dan membela mati-matian sebuah “tafsir agama”, bukan agama itu sendiri, tafsir tentang Tuhan, bukan Tuhan itu sendiri. [SQ]

Artikulli paraprakIslam, Agama, dan Budaya Arabia
Artikulli tjetërHidup Itu Sawang-Sinawang
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.