Islam ada bukan untuk mengubah ucapan “sampurasun” atau “selamat pagi/siang” atau “good morning” atau “Syalom” dan lain sebagainya menjadi “assalamu’alaikum”. Seperti ucapan selamat yang lain, “assalamu’alaikum” juga sama: baik kaum Muslim maupun non-Muslim yang berbahasa Arab akan mengucapkan “kalimat perdamaian” ini. Para kolegaku yang non-Muslim tiap hari bilang “salamu’alaikam-salamu’alaikum”.
Karena itu jika ada sejumlah kelompok non-Muslim yang “alergi” dengan kalimat “salam damai” ini karena dipandang sebagai “ucapan selamatnya orang Islam” sama lucunya dengan sejumlah kelompok Muslim yang bernafsu ingin mengganti semua ucapan salam dalam bahasa lokal menjadi “assalamu’alikum” karena dipandang “lebih Islami”. Tidak ada hubungannya antara “assalamu’alaikum” dengan “identitas keislaman”.
Islam hadir bukan untuk “meng-Arab-kan” bangsa, bahasa dan budaya lain: mengubah ayah/bunda, bapak/ibu, bapake/simboke dan lain sebagainya menjadi “abi/umi”, mengganti saudara/saudari menjadi ikhwan/akhwat atau akhi/ukhti dan lain sebagainya. Kehadiran Islam tidak lain dan tidak bukan adalah untuk memperbaiki akhlak dan moralitas manusia, agar kaum Muslim menjadi “Muhammad-Muhammad kecil” yang mampu membawa perubahan positif, rahmat dan kedamaian bagi semua umat manusia dan alam raya ini.
Apalah artinya fasih berbahasa Arab, jika kefasihan itu kalian gunakan untuk mencaci-maki bahasa lain dan menebar kebencian terhadap orang dan budaya lain; apalah artinya pandai berdalil jika dalil itu kau gunakan untuk memfitnah dan menyebarkan kekerasan kepada orang lain; apalah artinya berjidat hitam jika otak dan perilaku kalian hitam-legam sehitam jidat kalian;
Apalah artinya berjenggot panjang jika keburukan dan kejahatan kalian sama dengan jenggot kalian yang menjuntai itu; dan apalah artinya berpakaian meniru-niru Nabi Muhammad SAW, jika ternyata pikiran dan tindakan kalian seperti “begundal tengik” Abu Jahal wa ala alihi wa ashhabihi ajma’in.