Untuk siapakah agama itu “diturunkan”? Jelas untuk manusia, bukan malaikat, binatang, tumbuhan, gendruwo, tuyul gundul, apalagi untuk Tuhan. Watak agama itu “antroposentris” (berpusat pada manusia) bukan “teosentris” (berpusat pada Tuhan).
Dengan kata lain, manusialah, bukan Tuhan, yang menjadi sasaran dan tujuan utama sebuah agama karena jelas Tuhan tidak membutuhkan agama. Tuhan tidak butuh disembah. Tuhan bukanlah sosok “tuan raja feodal” yang butuh sembah dan sesembahan.
Meskipun seluruh umat manusia dan makhluk hidup tidak menyembah-Nya, Dia tidak galau atau tidak “petheken” (tidak masalah) menurut orang Jawa. Karena manusialah, agama itu ada atau diadakan.
Karena banyak manusia-manusia yang berotak dan berperilaku seperti “demit sontoloyo” itulah agama hadir atau dihadirkan di muka bumi.
Simaklah dengan seksama: ada segunung ayat-ayat dalam al-Quran yang bertutur tentang kemanusian bukan ketuhanan, tentang manusia di bumi ini bukan di alam pasca kematian, tentang aksi-aksi sosial bukan rutinitas ritual dan seterusnya.
Kalaupun al-Quran berbicara tentang Tuhan, alam kubur dan ritual, itu pun hanya sebagai “sarana” bukan “tujuan”: medium agar manusia berbuat kebaikan dengan sesama makhluk di muka bumi ini. Ingat: bukankah Nabi Muhammad Saw yang agung itu diutus ke muka bumi ini untuk menyempurnakan akhlak manusia, bukan untuk mengislamankan jagat raya?
Tapi sayang seribu sayang, banyak umat beragama di dunia ini yang justru sibuk memikirkan Tuhan lupa sesama manusia, sibuk “memburu surga” lupa berbuat baik dengan sesama, sibuk mengumpulkan pahala akhirat lupa “pahala dunia”, sibuk dengan ritual-ritual individual lupa aksi-aksi sosial-kemanusiaan dan seterusnya.
Jika dulu agama itu untuk masyarakat non-agama, sekarang saya melihat banyak umat beragama yang justru membutuhkan agama itu sendiri. [SQ]