Tidak seperti kampus-kampus lain di Arab Saudi, kampus tempat saya mengajar saat ini adalah kampus elit milik kerajaan yang didesain untuk menjadi “motor pembaharuan” dan modernisasi di negara-kerajaan ini. Karena itu mahasiswa yang bisa masuk di sini adalah top 1-3 di sekolah masing-masing. Itupun mereka harus lolos seleksi dulu oleh tim universitas.
Tidak peduli Sunni atau Syiah, Salafi atau non-Salafi. Setelah lolos seleksi, mereka “digembleng” Bahasa Inggris selama 1-2 tahun oleh guru-guru bule sebelum dibolehkan mengikuti perkuliahan. Para pengajarnya juga direkrut dari kampus-kampus di Amerika Utara dan Eropa Barat.
Universitas juga menyediakan dana riset ilmiah yang cukup melimpah. Jika di kampus-kampus lain pada umumnya, profesor susah-payah mencari dana penelitian dari luar, di sini para mereka “diuber-uber” oleh para “research funders” (baik swasta maupun pemerintah/kerajaan) untuk memasukkan proposal riset. Tidak perlu mencari dana riset dari luar karena di kampus sudah melimpah-ruah. Dana riset per proyek bervariasi: dari 200-an juta sampai 1 M-an.
Dalam waktu yang bersamaan, seorang profesor bisa melakukan 3 proyek riset sekaligus (tentu saja kalau disetujui oleh reviewers, komite riset, dan rektor), bukan tanpa seleksi. Saat ini saya sedang menyelesaikan dua riset yang keduanya memenangkan “research grant” dari kampus, yaitu (1) Islam, Travel, and Learning: Indonesian Students in Saudi Arabia (dari Junior Faculty Research Grant) dan (2) Saudi Arabia’s Domestic Terrorism and Counterterrorism (Special Societal Grant).
Kampus ini tidak bertumpu pada jumlah tapi lebih pada kualitas mahasiswa. Jumlah mereka sekitar 10.000 (S1-S3) dan semuanya gratis, bahkan dapat stipend (uang saku) per bulan. Semua mahasiswa juga tinggal di asrama kampus. Jadi, seperti pesantren saja. Para gurunya juga tinggal di kompleks apartemen/perumahan di area kampus. Karena mahasiswa-mahasiswa pilihan jadi cukup mudah sebetulnya untuk “mendidik” mereka.
Meskipun ada beberapa yang “badung” dan itu saya kira wajar dimana-mana tetapi relatif mudah untuk diajak diskusi dan berdialog. Mereka yang berhaluan Salafi-Wahabi juga bukan dari golongan “salafi ekstrim” yang suka ngamuk dan marah-marah (apalagi sambil bawa pentungan seperti hansip atau satpol PP) tapi dari kelompok “salafi /wahabi moderat” yang, kira-kira, “konservatif ke dalam tapi toleran ke luar”. Sungguh, saya banyak belajar dengan mereka.
Banyak sekali informasi (tentang apa saja) yang saya dapatkan dari mereka menyangkut hal-ikhwal “dunia Arab” yang membuat saya semakin percaya bahwa tidak ada masyarakat dan kelompok sosial di dunia ini yang bersifat seragam, tunggal dan monolitik. Juga tidak ada kelompok masyarakat, seekslusif apapun (termasuk Saudi), yang tidak mengalami perubahan sosial.
Perubahan-perubahan positif, yang mungkin masih tampak gelap dan kabur dari mata “dunia lain”, berlangsung pelan tapi pasti di kerajaan ini. Saya berharap kelak, murid-muridku, juga ikut memberi kontribusi dan turut mewarnai proses-proses perubahan positif tadi. [SQ]