Sebelum mengajar di Saudi, sejumlah teman di Amerika memberi “warning” untuk berhati-hati mengajar di sini karena, menurut mereka, murid-murid Arab itu “badung” dan nakal-nakal. Bukan mundur, saya malah tertantang dan bersemangat untuk membuktikan omongan mereka.
Semester pertama, saya memang agak repot “mengendalikan” mereka yang “liar“. Cara-cara mengajar model Amerika yang bertumpu kepada kebebasan akademik dan “kesadaran diri” ternyata tidak berjalan di sini. Saya kemudian belajar dengan kolega saya warga Arab-Aljazair yang sudah senior sekali. Saran dia adalah: “Kalau mengajar di Arab/Saudi, jangan menggunakan cara-cara Amerika yang demokratis tapi harus cara-cara Arab yang otoriter”. Maksudnya? “Kontrol mereka dengan aturan yang ketat tentang hal-ikhwal yang berkaitan dengan proses belajar-mengajar”. Dia juga menyarankan kalau kita lembek dan mengalah, kita akan dijadikan “budak” oleh mereka. Tapi kalau kita kuat dan berintegritas, mereka akan menganggap kita sebagai “majikan”.
Dan betul, saya terapkan saran-sarannya. Setelah berbagai macam cara dan daya-upaya untuk merayu, menekan, bahkan “menyuap” diriku dan sebagainya gagal total, mereka kini menjelma menjadi anak-anak saleh. Sejak semester dua sampai sekarang, saya bisa “mengendalikan” mereka dengan baik. Anak-anak yang tadinya seperti “kuda liar” sekarang menjelma seperti “kelinci manis”. Tapi, di luar “kebengalan” mereka, sebetulnya mereka adalah anak-anak yang baik dan penuh rasa hormat kepada guru. Mereka hanya “kurang sentuhan” tentang bagaimana menghargai dunia pendidikan dan kebudayaan lain.
Mereka tidak terbiasa mengasah otak mereka dengan diskusi-diskusi akademik yang bebas dan bertanggung jawab dari perspektif ilmu-ilmu sosial. Ketika saya memperkenalkan semua itu kepada mereka, mereka senang sekali dan bersemangat untuk berdiskusi dan berdebat tentang isu-isu sosial-politik-keagamaan khususnya yang menimpa di masyarakat Arab. Dari situ, saya bisa tahu betapa plural dan kompleknya “dunia Arab”.
Foto ini adalah salah satu kelasku dimana mereka sedang saya minta untuk berdiskusi tentang problem “etnosentrisme” yang menimpa sebagian umat manusia. Saya berharap mereka kelak mampu menjadi “agen perubahan sosial” di masyarakat Arab yang berwawasan toleran-pluralis, jauh dari watak-watak etnosentik yang sempit dan tertutup serta mampu menghargai keanekaragaman tradisi, budaya dan agama. [SQ]