Sejak mengajar di Saudi, saya selalu memperhatikan tentang tata-busana para mahasiswaku yang 99% beretnik Arab. Menariknya mayoritas mahasiswa menggunakan pakaian casual (jeans, kaos, kadang-kadang celana pendek).
Karena penasaran, saya pun mengembangkan survei tentang pakaian ini dan hasilnya lebih dari 80% dari mereka memang lebih suka memakai “pakaian casual” ini daripada gamis atau “jubah” (thawb) dalam kehidupan sehari-hari. Pakaian gamis baru dipakai kalau ada acara resmi di kampus, ngantor, menjadi duta universitas, even-even nasional, atau kalau melakukan ibadah salat.
Dalam salat pun, saya melihat banyak sekali yang mengenakan pakaian kasual bahkan kadang cuma memakai celana pendek (kolor atau bukan) yang hanya menutup lutut. Aurat laki-laki menurut mereka memang hanya sampai lutut jadi tidak masalah memakai celana pendek kalau salat asal lutut tertutup.
Pada waktu salat Jumat di masjid jami’ kampus, kita bisa tahu beraneka ragam jenis pakaian yang dipakai para pesalat: jin, jubah, celana cingkrang, sarung, dan seterusnya. Tidak ada yang menghiraukan. Tidak ada yang meledek. Tidak ada yang “mengkhotbai”. Semua khidmat sembahyang, masuk-keluar masjid sama-sama tanpa rasa risih atau malu karena sembahyang tidak bergamis putih dan berkupluk putih…
Saya melihat memang ada perubahan besar dalam bertata-busana di kalangan masyarakat Arab. Kecuali generasi tua yang masih memakai “pakaian tradisional” mereka, kalangan muda Arab sejak beberapa tahun silam lebih memilih memakai pakaian casual ketimbang jubah karena dipandang lebih nyaman & tidak ribet. Kalaupun mereka memakai jubah, jubahnya sudah “sangat modis, trendi, & modern” dari segi corak & desain atau sebut saja “jubah gaul”. Seperti saya sebutkan sebelumnya, jubah itu beraneka ragam.
Orang Saudi belum tentu memakai “jubah Saudi”. Banyak dari mereka yang memakai “jubah Emirati”, “jubah Kuwaiti”, “jubah Qatari” dan lain sebagainya. Jubah buat mereka memang hanyalah “sebuah pakaian” produk budaya sekuler yang tidak ada sangkut-pautnya dengan ajaran keagamaan karena itu oke-oke saja mereka “berpindah mazhab” dalam berpakaian.
Jika di Saudi sendiri sudah terjadi perubahan drastis dalam hal cara memandang jubah dan bertata-busana, la kok malah sebagaian umat Islam di Indonesia malah semangat empat lima untuk “mengjubahkan” masyarakat dengan dalih “nyunah” dan lucunya lagi malah mengkafir-kafirkan pakaian tradisionalnya sendiri. Memang unyu-unyu sekali mereka ini…