Jika tahun lalu saya mengajar sosiologi, tahun ini antropologi. Tahun lalu saya mendapat skor mengajar 9.21 (dari 10). Artinya, mahasiswa suka sekali dengan model belajar-mengajar yang saya terapkan. Saat ini saya sedang merampungkan silabus “socio-cultural anthropology” yang pas untuk mahasiswa Saudi / Arab.
Ada sejumlah tantangan berat dalam hal ini. 1) Bagaimana mahasiswa Saudi / Arab menghormati kebudayaan lain agar tidak memaksakan kebudayaan mereka kepada orang lain; 2) Bagaimana mahasiswa Saudi/Arab tahu bahwa kebudayaan Arab bukan hanya milik Muslim tapi juga Arab non-Muslim; 3) Bagaimana agar mereka tetap menghormati dan melestarikan kebudayaan lokalnya tidak terpengaruh oleh gelombang globalisasi, modernisasi dan westernisasi yang bertiup kencang di Arab dan Timur Tengah.
Sejak beberapa puluh tahun silam, ada arus deras yang sangat kuat yang ingin “membaratkan” kebudayaan Arab dan Timur Tengah sehingga menimbulkan sejumlah ketegangan lokal. Salah satunya adalah tentang penggunaan niqab yang banyak dikritik dan disalahpahami. Meski saya tidak setuju praktik penggunaan “niqab” bagi perempuan di Indonesia, misalnya, tapi saya setuju pemakaian niqab di Saudi karena berbagai pertimbangan sosial, budaya, dan geografi. Banyak orang melihat, mengukur dan menilai kebudayaan orang lain dari kebudayaannya sendiri bukan dari kebudayaan orang lain itu sehingga sering menimbulkan ketegangan, konflik, benturan dan bahkan kekerasan.
Inilah yang saya lihat dan rasakan di Indonesia akibat adanya sejumlah kelompok agama yang bernafsu ingin memboyong kebudayaan asing ke dalam negeri. Kita memang perlu menghargai kebudayaan asing tapi juga sangat perlu menghormati kebudayaannya sendiri. [SQ]