Anggapan bahwa pembelaan terhadap minoritas Syiah di Indonesia sebagai “anti-Arab” (apalagi anti Nabi Muhammad) adalah keliru besar. Hanya orang-orang yang “pikun wawasan” yang menganggap Syiah itu non-Arab. Syiah jelas lintas-etnis. Pemeluk Syiah bukan hanya beretnik Persi tapi juga Arab, Hazara (di Afganistan), Assyria, Pastun Bangash, Khoja, Kurdi dan sebagainya.

Iran bukan hanya satu-satunya rumah buat kaum Syiah. Komunitas Arab-Syiah tersebar di seantero negara-negara Arab: Bahrain, Kuwait, Irak, Lebanon, Suriah, Yaman, Oman dan bahkan Saudi. Populasi Syiah sangat besar di negara-negara ini bahkan sebagian menjadi mayoritas seperti di Irak dan Bahrain. Di Saudi komunitas Arab-Syiah sekitar 10-15 persen, di Lebanon sekitar 35 persen, di Yaman sekitar 40 persen. Bukan hanya negara-negara Arab, komunitas Syiah juga tersebar luas di Turki, Afganistan, Azerbaijan, Pakistan, India, dan sebagainya.

Anggapan bahwa komunitas Syiah itu monolitik dan memiliki agenda seragam juga keliru besar. “Rezim Syiah” Irak pernah berseteru dengan Iran gara-gara terlalu banyak intervensi urusan politik domestik Irak. Komunitas Arab-Syiah tidak serta merta pro-Syiah-Iran (Persia) karena berbeda etnik dan negara. Kesamaan teologis tidak menjamin persatuan politik. Konflik klasik etnik Arab-Persia masih kuat hingga kini.

Waktu rezim Syiah Houti Yaman diserbu Saudi, banyak warga Syiah Saudi yang ikut mendukung pemerintah Saudi karena mereka beranggapan Syiah Yaman berbeda dengan Syiah Saudi. Karena kepentingan politik-ekonomi dan identitas kesukuan, warga Arab-Syiah di Teluk juga banyak yang pro pemerintah yang dikontrol Sunni ketimbang membelot ke Iran. Meskipun tentu saja ada sejumlah “rezim Syiah” di sejumlah negara-negara Arab yang “berselingkuh” dengan Iran.

Sebagaimana Sunni, Syiah juga terpecah menjadi bercamam-macam golongan: Imamiyah, Zaidiyah, Ismailiyah, Ismaili Nizari, Mustaali Dawoodi Bohra, Alawi, Sulaimani Bohra dan lain-lain, yang masing-masing jauh dari kesan tunggal. Tidak semua dari kelompok Syiah ini membenci para sahabat Nabi (di luar “kubu Ali”) seperti kaum Syiah Zaidi di Yaman, meskipun mereka menganggap sahabat Ali sebagai yang paling pantas menggantikan suksesi kepemimpinan paska wafatnya Nabi Muhammad SAW.

Saya bukan pro-Syiah atau anti-Sunni atau sebaliknya. Saya hanya ingin semua pihak harus berhati-hati dalam menyikapi konflik dan perbedaan. Jangan membawa-bawa perseteruan geo-politik di Arab dan Timur Tengah (sejak “klasik” hingga kini) ke Indonesia karena bangsa ini memiliki sejarah politik-kebudayaan-keagamaan serta perjumpaan Syiah-non-Syiah yang berlainan dengan Arab dan Timur Tengah.[SQ]

Artikulli paraprakSyiah, Sunni Ekstrim, dan “Islam Pentungan”
Artikulli tjetër“Jenggot Agamis” dan “Jenggot Sekuler”
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.