Postingan ini tentang “Jenggot agamis” dan “jenggot sekuler”. Entah kenapa jenggot selalu ramai diperbincangkan. Padahal cuma “kumpulan rambut” saja, tidak jauh beda dengan “kumpulan rambut” di tempat-tempat lain: di kepala, di ketiak, di atas bibir, di bawah pusar, dan lain-lain. Jenggot menjadi spesial karena agama ikut bicara tentang “gundukan rambut di janggut” ini. Jenggot bukan hanya monopoli Islam atau “kaum salafi” saja.

Sejumlah agama juga memandang penting tentang jenggot ini, bahkan dianggap sebagai bagian dari “dogma”. Karena itulah sejumlah pengikut agama non-Islam seperti Amish, “Yahudi Ortodoks”, Old Order Mennonite, Sikh, Sadhus dan sebagainya juga memelihara jenggot yang menjuntai. Sejumlah tokoh Mormon awal (seperti Brigham Young) juga berjenggot lebat.

Secara khusus, menarik juga untuk diperhatikan (dan diteliti jika berminat), kenapa ketiga kelompok salafi dalam rumpun Agama Semit yang sama-sama lahir di Timur Tengah seperti Yahudi, Kristen, dan “si bungsu” Islam selalu berjenggot. Yang dimaksud dengan kelompok “salafi” disini adalah kelompok agama yang mempraktekkan tradisi keagamaan sebagaimana yang telah dipraktekkan oleh generasi awal penganut agama-agama tadi, termasuk para pendiri agama. Memelihara jenggot bagi ketiga kelompok salafi ini merupakan kewajiban atau minimal “sunah”.

Kaum Yahudi, khususnya kaum Yahudi Heradi, “Yahudi Mesiah”, atau Yahudi Lev Tahor, kemudian umat Kristen Amish, Huterite, Old Order Mennonites, atau Ortodoks Suriah Kerala, lalu umat Islam, khususnya kelompok Salafi dan Wahabi, semua berjenggot ria dengan alasan keagamaan bukan yang lain. Mereka semua berargumen bahwa berjenggot bagi laki-laki telah “diamanatkan” dalam teks-teks keagamaan mereka dan dipraktekkan oleh para leluhur agama mereka, dan karena itu harus ditiru.

Foto berikut ini hanyalah sekedar contoh dari “Jenggot Wahabi”, “Jenggot Amish” dan “Jenggot Yahudi Heradi”. Karena jenggot telah menjadi identitas, norma, budaya, dan bahkan nilai-nilai agama bersama bagi berbagai kelompok agama, maka tidak pada tempatnya jika sejumlah kaum Muslim mengklaim jenggot sebagai “properti” mereka belaka. Bukankah Islam itu justru lahir belakangan? Karena itu bukan hal yang mustahal jika Nabi Muhammad Saw mengadopsi praktek dan “budaya jenggot” yang sudah berkembang di Arabia pada waktu itu untuk menjadi bagian dari nilai-nilai dan kebudayaan umat Islam.

Perlu dicatat, jenggot juga bukan hanya monopoli kaum agama, kaum sekularis (ateis, agnostik dan lain-lain) juga banyak yang hobi memelihara jenggot. Para raja-raja kuno (seperti para Kaisar Tiongkok atau Kaisar Meiji di Jepang) juga berjenggot. Para ilmuwan beken juga berjenggot. Lihat saja Karl Marx, Friedrich Engels, Charles Darwin, Lord Kelvin, James Maxwell, Ernst Mach dan sebagainya.

Singkat cerita: tidak ada hubungannya antara jenggot dan tingkat kecerdasan, jenggot dan tingkat kesalehan, jenggot dan tingkat ketaatan dan seterusnya. Jadi, yang tidak berjenggot jangan meledek yang berjenggot, yang berjenggot jangan menyuruh-nyuruh orang untuk berjenggot dengan disisipi dalil ini-itu karena masalah surga-neraka bukan ditentukan oleh panjang-pendeknya jenggot Anda. [SQ]

Artikulli paraprakSyiah dan Nasionalisme
Artikulli tjetërTaqiyah Tidak Hanya Monopoli Kaum Syiah
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini