Suatu hari saya nongkrong di luar area toilet di bandara Doha, Qatar, sambil menunggu anak-istri yang sedang “ada urusan” di dalam sana. Pada waktu menunggu itu, saya perhatikan banyak perempuan Arab yang berbusana lain sebelum dan sesudah dari toilet.
Sebelum masuk restroom, mereka memakai “busana trendi” ala Barat, tak berjilbab, tanpa kerudung penutup rambut. Ada pula yang mengenakan celana jeans, bahkan tidak sedikit yang cukup “feminin” seperti laiknya “perempuan modern” dewasa ini. Ada juga yang “berbusana minim” yang aduhai. Uniknya, setelah dari toilet, mereka semua berubah “bim salabim” memakai hijab dan abaya atau “jilbab gelombor” dengan warna dominan hitam khas Saudi dan Qatar. Ada pula yang tiba-tiba bercadar dengan niqab.
Rupanya, toilet telah menjadi salah satu tempat favorit “pergantian identitas” seseorang. Manusia itu memang cerdik, “simbolis” dan “politis”. Identitas juga bukan sesuatu yang “solid” dan kaku-njeku tanpa perubahan, melainkan selalu “fluid“, fleksibel alias “lentur-tur” mengikuti kondisi, situasi dan perubahan zaman. Sejumlah muridku juga menuturkan kalau sedang liburan keluarga di luar Saudi (khususnya Dubai, UEA, yang dianggap sebagai “Los Angeles”-nya Arab dan Timur Tengah) apalagi di negara-negara Barat, kaum perempuannya juga banyak yang tidak berhijab.
Sebab itu, keliru besar dan sering tertipu, jika kita menilai seseorang hanya dari -atau berdasar pada- tampilan busana luar. [SQ]