Tidak seperti biasanya suasana kelasku kemarin “agak aneh”. Sehabis kuliah, para mahasiswaku dari Saudi, Yaman, Sudan, Bahrain, Palestina, Mesir dan sebagainya bukannya keluar ruangan tapi malah duduk-duduk dan berdiri menggerombol mengelilingi saya. Dengan khusuk mereka mendengarkan lanjutan “ceramah-ceramah” dan nasehatku tentang pentingnya menghargai perbedaan dan keragaman masyarakat, budaya dan agama.

Saya minta kepada mereka untuk tidak “etnosentris” (merasa diri superior dan memandang orang lain dengan inferior) dan pada saat yang sama untuk menerapkan pentingnya “relativisme budaya” (setiap kebudayaan manusia itu relatif dan terbatas) dalam menyikapi pluralitas kemanusiaan dan kebudayaan seperti “diajarkan” oleh antropologi. Saya juga minta mereka untuk menyikapi keanekaragaman itu dengan sikap-sikap yang santun penuh toleransi bukan dengan cara-cara kekerasan dan fanatisme.

Setelah acara “santapan rohani” selesai, mereka mengungkapkan rasa terima kasihnya kepadaku yang telah memperkenalkan ilmu-ilmu sosial kepada mereka sehingga bisa menyikapi kemajemukan dengan sikap “dewasa” bukan “kekanak-kanakkan”. Banyak juga dari mereka yang memohon kepada saya untuk tetap mengajar di sini tidak pindah ke kampus lain supaya semakin banyak mahasiswa yang “tercerahkan”. [SQ]

Artikulli paraprakHidup Itu Sawang-Sinawang
Artikulli tjetërMurid-Murid Arabku yang Warna-Warni
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini