Semester ini saya mengajar sekitar 100 mahasiswa. Di setiap akhir kelas, saya selalu menyempatkan untuk berfoto bersama sebagai kenang-kenangan kelak untuk saya maupun anak cucu saya. Mahasiswa saya dari berbagai negara: Saudi, Yaman, Suriah, Sudan, Mesir, Palestina, Lebanon, India, Pakistan dan lain-lain. Mayoritas tentu saja dari Saudi.

Mereka bukan hanya Sunni tapi juga Syiah. Yang “Salafi-Wahabi” juga ada. Yang para sayyid (keturunan Nabi Muhammad) juga ada. Bukan hanya mengajar, saya juga banyak belajar dari mereka. Bagi saya, para mahasiswa ini bukan hanya “murid” tapi juga “guru” (“informan” atau “konsultan budaya” dalam antropologi) yang mengajarkan aneka ragam suku, budaya dan tradisi Arab.

Di akhir kelas Antropologi Budaya, seperti biasa, saya berpesan kepada para mahasiswa untuk menghargai keanekaragaman budaya dan agama serta menghormati pluralitas pandangan dan pemahaman masyarakat. Saya juga menandaskan untuk menjauhi watak-watak etnosentris (klaim, sikap dan pandangan merasa diri superior terhadap orang dan kelompok lain) dan perlunya mengedepankan watak-watak “relativisme budaya” dalam melihat fenomena pluralitas manusia.

Saya punya rencana, suatu saat nanti, untuk mengajak mereka “tour intelektual” ke Indonesia guna menjelaskan keanekaragaman masyarakat dan budaya Arab supaya masyarakat Indonesia paham bahwa kebudayaan Arab bukanlah “monolitik” dan seragam. [SQ]

Artikulli paraprakWejangan untuk Mahasiswa Arab
Artikulli tjetërMemahami Masalah dari Perspektif Antropologi
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini