Dalam belajar Bahasa Inggris saya tergolong “terlambat” dibanding dengan sejumlah teman mahasiswa seangkatan dulu. Sewaktu masih mahasiswa di IAIN (kini UIN: Universitas Islam Negeri) Walisongo, Semarang, saya sibuk sekali di Majalah Justisia dan lembaga senat mahasiswa. Aktivitas utamaku dulu waktu menjadi mahasiwa S-1 adalah diskusi, nulis, dan demonstrasi. Sudah tak terhitung berapa kali saya turun demo dan menggalang protes melawan siapa saja yang saya anggap “tidak bener”. Karena itu kuliahku terbengkelai. Hampir 7 tahun, saya menyelesaikan S-1.

Meskipun ada sejumlah teman yang rajin belajar Bahasa Inggris, saya tidak berminat sama sekali. Sampai melanjutkan kuliah S2 di UKSW, Salatiga, saya juga masih aras-arasen belajar Bahasa Inggris. Dulu, setiap ada tugas me-review tulisan-tulisan Bahasa Inggris, saya paling malas. Sering saya kena diare karena stres mikirin tugas-tugas Bahasa Inggris. Setelah lulus S2 dr UKSW, saya baru mikir dan berkeinginan kuat untuk belajar “Bahasa Londo” ini. Maka, saya pun memutuskan untuk “berpetualang” di sebuah kampung antara Jombang dan Kediri yang sudah lama dikenal sebagai “Kampung Bahasa Inggris”. Nama kampung itu adalah Pare. Konon di kampung ini pulalah dulu pada 1950-an, mendiang antropolog Clifford Geertz yang legendaris itu melakukan penelitian yang kemudian terbit menjadi sebuah buku yang sangat populer: The Religion of Java.

Waktu itu saya ditemani seorang sahabat karib, namanya Muhtasit, yang kadang-kadang saya panggil Tahasita, yang sudah duluan tinggal di Pare. Berangkatlah kami dengan naik bus ekonomi jalur: Semarang-Solo-Jombang-Pare. Hujan lebat mengguyur menemani perjalanan kami di bulan Januari itu. Oleh Muhtasit, saya dicarikan tempat kos sederhana dengan biaya sekitar Rp. 30,000 / bulan. Saya masih ingat kasurku dulu banyak sekali dihuni mahluk yang bernama tinggi (kutu busuk) sehingga setiap pagi, badanku bentol-bentol dikeroyok tinggi. Selain saya, yang kos dirumah mungil itu adalah Makmun, adik kelasku, yang konon sekarang jadi Wakil Ketua DPDR di Kendal. Makmun banyak membantu saya waktu itu: terutama bikinkan mie, kadang-kadang mencuci pakaian.

Di Pare, awalnya saya belajar di BEC (Basic English Course) selama 6 bulan. Ada banyak sekali murid-murid di BEC yang rata-rata adalah siswa SMU atau mahasiswa S-1. Waktu itu saya adalah mahasiswa tertua. Bahkan saya juga lebih tua dari guru-guru Bahasa Inggrisku. Kecuali “Mr. Kallend” tentunya, yang punya BEC itu. Seperti murid-murid yang lain, saya juga melakukan hal yang sama: memakai seragam hitam-putih, hafalan, mengerjakan tugas-tugas sekolah, dlsb. Rutinitas itu saya lakukan selama 6 bulan. Semua biaya makan, kos, kursus dari tabunganku yang tidak seberapa. Maklum “sarjana pengangguran” jadinya ya sekedarnya.

Mungkin karena kasihan melihatku yang kurus-kering-dekil-item, beberapa senior yang datang mengunjungi memberi “sesuatu”. Pak John Titaley, guruku dan juga rektor UKSW, misalnya pernah datang bersama istrinya, Bu Ida, sambil membawa bingkisan oleh-oleh kondangan di Malang. Kiai Ubaidallah Sodaqah (sekarang Rais Syuriyah PWNU Jawa Tengah) juga pernah mampir sambil menyelipkan uang waktu salaman mau pulang. Kata Sopo, “Alhamdulilah ya bos…”

Belajar Bahasa Inggris (atau bahasa asing apapun) memang berat sekali apalagi belajar sudah cukup “telat”. Karena itu bisa dimaklumi jika banyak yang mogok di tengah jalan. Waktu itu hanya semangat yang bisa membuatku bertahan. Keinginan kuat untuk sekolah di Barat membuatku “semangat ’45” meski hujan mengguyur, duit tipis, pakai “seragam sekolah” tiap hari, dan “dicumbui” binatang tinggi setiap malamnya. [SQ]

Artikulli paraprakBila Muslim Turut Merawat Kelenteng
Artikulli tjetër“Cinta Dunia” = “Syirik Modern”
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.