Seperti apakah dunia pasca kematian? Tidak ada orang yang tahu persis seperti apa wujudnya. Agama hanyalah “meraba-raba” gambaran dunia akhirat. Ilmu pengetahuan juga sama. Kaum teolog hanya “mencandra” keberadaannya. Para agamawan juga sebatas “menerka-nerka”. Sementara para ilmuwan, baik kaum teis maupun ateis, hanya bisa berteori. Ada yang mempercayai “reinkarnasi” dan “kedamaian abadi”. Ada pula yang meyakini “realitas” surga-neraka seperti agama-agama Semit.
Tapi semua konsep “dunia pasca kematian” dari para agamawan maupun kaum sekuler hanyalah “imajinasi pemikiran” dan “tafsir kultural” belaka. Bahkan dalam batas tertentu “bias gender”.
Coba kalian simak baik-baik gambaran surga agama-agama Semit, Islam khususnya, yang mengonsepkan surga seperti taman rindang penuh bidadari dengan aliran sungai yang sejuk. Konsep ini seperti sebuah “imajinasi” para penduduk (laki-laki) gurun padang pasir yang panas, gersang dan kering-kerontang sehigga mendambakan suasana yang adem, sejuk, rindang dan banyak gadis-gadis cantik.
Pernahkah kalian membayangkan bagaimana jika orang-orang Eskimo atau Suku Inuit di kutub utara merumuskun sebuah “surga”? Bagaimana kira-kira gambaran tentang surga bagi Suku Aztec di Benua Amerika atau Suku Kalahari di Afrika?
Apapun “realitas” dunia pasca kematian, tentu saja kalian (sebagaimana saya) boleh meyakini sedalam-dalamnya gambaran surga-neraka di alam akhirat nanti. Tetapi janganlah kita memaksakan (apalagi melalui cara-cara kekerasan) keyakinan kita itu kepada orang lain, agama lain, komunitas lain. Apalagi dibumbui dengan olok-olok terhadap konsep “dunia pasca kematian” kelompok lain.
Tindakan ini hanyalah mengantarkan kita pada “kesombongan teologis” yang tidak ada manfaatnya. Semua konsep ada batasnya. Agama hanyalah perantara. Hanya Tuhan yang tak berbatas dan Maha Tahu dunia-Nya. Jika manusia berbuat kebaikan di dunia ini, saya yakin pasti ada “balasan” di akhirat kelak, tidak penting apa dalam bentuk surga atau lainnya. Begitu pula sebaliknya. [e]