Jika Anda menganggap Arab adalah bagian dari “masalah” di Indonesia, maka jadikanlah mereka bagian dari “solusi”. Saya melihat sejumlah “ekspat profesional”, ilmuwan dan insinyur Indonesia yang bekerja di Arab Teluk khususnya lebih banyak berorientasi pada aspek “material” semata, bukan ikut memberi kontribusi pada perubahan sosial-kultural-intelektual masyarakat Arab agar menjadi lebih baik di masa mendatang.
Mayoritas dari mereka lebih banyak bersikap pasif, “pragmatis” dan “larut” dengan irama gendang kultur Arab. Yang penting dapat gaji bulanan lumayan, fasilitas oke, kebutuhan keluarga tercukupi dan sejahtera. Selesai hidup. Tidak perlu “neko-neko”. Titik.
Dari dulu, saya bukan tipe orang seperti ini. Saya harus melakukan sesuatu dan berkontribusi secara positif bagi pengembangan akademik kampus, perubahan mindset pemikiran Arab yang cenderung etnosentris serta penambahan wawasan tentang pluralitas sosial-kebudayaan-keagamaan diluar Arab supaya mereka lebih “melek” sedikit dan toleran dengan aneka budaya non-Arab.
Salah satu tantangan besar yang kini sedang saya hadapi adalah memutus mata-rantai dendam sejarah antar-suku. Konflik antar-suku Arab sudah berlangsung berabad-abad jauh sebelum Islam lahir pada abad ke-7 M dan terus berlanjut hingga sekarang. Para mahasiswaku berasal dari aneka suku yang mewarisi konflik dan kekerasan leluhur mereka tadi dan beberapa bahkan mengaku sebagai keturunan para sahabat Nabi Muhammad.
Para mahasiswa yang dulu para leluhurnya menjadi seteru (Bani Hasyim, Bani Ummayah dan sebagainya), cenderung tidak mau berada dalam satu grup. Dalam tugas kuliah, mereka maunya mengelompok kumpul bareng dengan suku-suku yang “seirama”. Kaum sayid keturuan sahabat Ali juga susah digabung dengan mahasiswa dari suku-suku keturunan para musuh Ali dulu. Para suku ini juga saling mengklaim sebagai yang paling unggul dari suku-suku lain. Mahasiswa non-Saudi juga sama, mereka maunya mengelompok dengan mahasiswa sesama negara: Yaman, Palestina, Suriah, Mesir, Tanzania dan lain-lain.
Tapi saya tidak mau mengikuti kemauan mereka. Grup diskusi dan presentasi saya campur dari berbagai suku, sub-suku, klan, Sunni-Syiah dan seterusnya. Untuk mengetahui siapa mereka, dari suku mana mereka, Sunni atau Syiah, cukup kenali “nama belakang” mereka saja. Dan saya bebas melakukan ini karena saya bukan dari suku-suku mereka.
Saya kan “wong Jowo” (Orang Jawa). Alhamdulilah, “eksperimen” saya cukup berhasil. Di akhir kuliah, mereka selalu mengekspresikan kegembiraanya dengan metode “campur-baur” yang saya lakukan demi kebersamaan, toleransi, dan saling memahami satu sama lain. [SQ]