Perjuangan Meraih Beasiswa Kuliah – Karena keterbatasan beasiswa doktroral yang saya peroleh di Boston University waktu itu, saya terpaksa harus merampungkan berbagai mata kuliah wajib sebagai persyaratan meraih gelar doktor (waktu itu ada sekitar 16 mata kuliah), ujian komprehensif yang sangat rumit dan melelahkan, serta ujian proposal disertasi (prospectus) dalam waktu singkat. Saya menyelesaikan semua itu dalam waktu 2,5 tahun, sesuatu yang tergolong “tidak lumrah” di departemenku.
Untung saja, setelah berjuang cukup lama, proposal disertasiku memenangkan sejumlah “research grants” termasuk dari National Science Foundation (Pemerintah Amerika Serikat) dan Graduate Research Abroad Fellowship sehingga bisa membiayai riset disertasi dan “menyambung hidup” setelah beasiswa kuliah habis.
Segera setelah dinyatakan lulus ujian komprehensif dan proposal disertasi, saya pun segera mudik untuk keperluan penelitian disertasi sekaligus menengok kampung halaman di Batang, Jawa Tengah, yang sudah cukup lama saya tinggalkan sejak kuliah di Virginia.
Mendengar kabar saya mau pulang kampung, orang tua dan keluarga di kampung mempersiapkan “upacara penyambutan” dan “selametan / bancaan / kenduren” dengan makan-makan bersama mengundang warga.
Cukup banyak warga yang datang dan menunggu di gubukku yang sederhana. Setiba di rumah, saya pun langsung memeluk bapake-simboke inyong (ayah-ibuku). Tak terasa, air mata pun meleleh deras membasahi pipiku. Ayah-ibuku juga sama: sama-sama menangis mungkin karena haru dan kangen sudah lama tidak bersua dengan anak bungsunya yang waktu kecil hobi main wayang sambil menggembala kambing di hutan.
Sehabis berpelukan ala teletabis, saya pun menyalami kakak-kakak, saudara, tetangga, teman lama dan kemudian warga. Sebagian besar teman-temanku waktu kecil sebagai sesama penggembala kambing masih meneruskan profesi mereka sampai tua. Dulu, mereka yang biasa memanggilku dengan menyebut nama langsung, kini mereka berubah memanggilku dengan sebutan “Pak” atau “Mas”.
Saya pun sering meledek ke mereka, “Pak/Mas gundulmu he he. Panggil aku seperti dulu saja.” Tetapi tetap mereka tidak mau melakukannya.
Saya melihat ayah sudah semakin tua dan sepuh. Penyakitnya bertambah banyak tetapi ia berusaha menutupi di depanku. Ia pura-pura sehat dan tegar. Padahal saya tahu, beliau sedang menderita cukup banyak penyakit, selain penyakit tua. Namun, seperti biasa, beliau tidak ingin anak-anaknya turut sedih, larut dalam kesusahan, dan menanggung beban penderitaannya. Ia ingin menanggung derita seorang diri.
Saya menawarkan berkali-kali untuk berobat ke rumah sakit. Ia tetap menolak. Beliau hanya ingin satu hal: “Kelak kalau saya ada rejeki untuk memperbaiki gubuk supaya lebih kuat serta membantu pendirian rumah dan kebutuhan saudara-saduraku.”
Tanpa pikir panjang, uang riset itu pun saya pakai untuk memperbaiki rumah orang tua di kampung, meskipun ala kadarnya. Setelah rumah tampak berdiri cukup kuat, saya melihat senyumnya mengembang. Suatu malam, ia berkata kepadaku: “Sekarang saya nggak khawatir lagi kalau rumah ini akan roboh sehingga saya bisa hidup dengan tenang.”
Setahun setelah rumah saya perbaiki, beliau wafat menghadap Sang Khalik (Bersambung).