Cobaan demi cobaan datang silih berganti mengiringi sekolah doktoralku di Boston. Bukan hanya soal minimnya beasiswa dan perjuangan menyelesaikan persyaratan kuliah saja tetapi cobaan itu juga datang bertubi-tubi dari keluarga.
Belum genap setahun penelitianku di Ambon, ayahku mendadak wafat. Betapa terpukulnya saya karena orang yang selama ini mendidik, membesarkan, dan setiap pagi mengantarku sekolah di MTs dulu tiba-tiba tiada. Malam itu tubuhku lunglai. Air mata tumpah ruah di bantal. Saya menangis sesenggukan sendirian dalam gelapnya malam. Malam itu terasa sangat panjang dan menyesakkan.
Begitu matahari menyembul dari ufuk timur, saya pun bergegas menuju Bandara Pattimura untuk mudik Jawa ditemani Bung Eli. Saya tak perlu beli tiket pesawat karena saya sudah beli tiket jauh-jauh hari sebelumnya (karena saya memang merencanakan untuk pulang kampung) yang ternyata pas dengan tanggal wafatnya ayah.
Sepanjang perjalanan: Ambon-Makassar-Jakarta-Semarang-Batang penuh dengan duka mendalam. Sesampai di rumah di kampung, saya tatap dalam-dalam jasad ayahku yang sudah terbujur kaku. Wajahnya tampak kuning bersih. Bibirnya tampak tersenyum. Air mata kembali meleleh di pipiku. Warga sudah berkerumum di rumah. Hari itu juga jasad ayah disalati dan dimakamkan.
Dalam hati saya bersumpah untuk menjalani pesan-pesan dan amanat almarhum, yaitu bertanggung jawab atas kelangsungan hidup keluarga: ibu, saudara-saudara dan keponakan-keponakanku. Saya memang anak bungsu tetapi hanya sayalah yang sempat sekolah sampai jauh. Kakak-kakakku tidak sekolah lanjut sehingga hidup mereka “mentok” di kampung sebagai petani miskin dan takmir masjid.
Ternyata wafatnya sang ayah bukanlah akhir dari penderitaanku. Hanya selang beberapa bulan setelah ayah wafat, kakak terserang kanker ganas. Sayalah yang mencari uang kesana-kemari untuk membiayai proses pengobatan, termasuk kemo berkali-kali. Sisa-sisa “dana riset” juga saya pakai untuk membantu proses pengobatan kakak. Padahal pada saat yang sama saya harus berjuang menulis disertasi.
Karena cukup lama kakak menderita sakit yang juga membuat penderitaan keluarga, suatu saat saya bermunajat: “Ya Allah kalau memang hidup adalah jalan terbaik buat kakak, sembuhkanlah ia. Tapi kalau kematian adalah jalan terbaik untuknya, segeralah ambil nyawanya. Kami sudah ikhlas menerimanya. Jangan biarkan ia menderita terlalu lama. Jangan biarkan kami menderita terlalu lama.”
Keesokan harinya kakakku yang juga “berprofesi” sebagai imam masjid dan kiai kampung menggantikan ayah itu akhirnya wafat, dipanggil menghadap Sang Khalik.
Bagimana kisahku menulis disertasi di tengah duka yang bertubi-tubi? (Bersambung)