tim penguji doktor sumanto al qurtuby

Perjuangan Meraih Beasiswa Kuliah – Di antara teman-temanku di Departmen Antropologi, Boston University (BU), saya termasuk salah satu yang tercepat menyelesaikan studi doktornya. Bukan karena saya “mahasiswa super” tapi lebih karena saya “mahasiswa kepepet” karena beasiswa kuliah yang sangat terbatas.

Setelah dua tahun berjibaku dengan perkuliahan dan teori-teori (ada sekitar 16 mata kuliah yang saya ambil waktu itu tentang banyak hal, selain teori-teori antropologi dan ilmu-ilmu sosial, juga studi tentang masyarakat Arab, Turki, Iran, Afganistan, Indo-Pakistan, China, dlsb), saya segera menyelesaikan proposal disertasi dan ujian-ujian komprehensif yang sangat melelahkan.

Di departemenku dulu, ujian komprehensifnya dengan cara menulis 6 artikel (ukuran artikel jurnal sekitar 20 halaman) dengan topik yang berlainnan (umumnya tentang teori-teori antropologi dan tema-tema “area studies”) dan tema itu ditentukan oleh “komite ujian” yang terdiri dari para professor di departemenku. Waktu yang diberikan untuk menulis enam paper tersebut sekitar 10 hari. Jadi, nyaris pagi-siang-malam tiada henti saya “guling-koming” menulis 6 paper itu. Capeknya minta ampun.

Pada waktu yang bersamaan, saya juga harus bolak-balik menulis dan merevisi proposal disertasi agar siap untuk diujikan. Kelak, proposal tesis doktoralku memenangkan sejumlah penghargaan riset, antara lain dari National Science Foundation. Jadi, selama satu semester saya berjibaku mempersiapkan ujian komprehensif dan ujian proposal disertasi, selain mengajar mahasiswa S1. Betul-betul melelahkan.

Setelah riset disertasi selama setahun, saya kembali berjibaku menulis disertasi selama beberapa bulan nyaris tanpa henti. Selesai menulis disertasi bukan berarti urusan jadi beres karena draf disertasi harus bolak-balik dikonsultasikan dengan pembimbing utama disertasi, yaitu Professor Robert Hefner dan Professor Augustus Richard Norton (ahli tentang studi-studi Timur Tengah).

Setelah sekian lama menulis dan merevisi disertasi, akhirnya mereka sepakat juga kalau disertasiku siap diujikan. Foto di bawah ini (yang diambil setelah ujian disertasi) adalah tim penguji disertasiku. Saya diapit oleh Professor Hefner dan Professor Norton.

Kalau mengingat-ingat jerih-payahku yang jungkir-balik sekolah doktoral di Amerika selama bertahun-tahun dengan penuh penderitaan lahir-batin, saya merasa sangat sedih sekali jika melihat kampus-kampus di Indonesia begitu gampangnya mengobral gelar doktor, baik yang “honoris” maupun bukan, kepada orang-orang tertentu hanya karena mereka “punya pangkat” atau “punya uang” (Bersambung).

Artikulli paraprakMeredupnya Budaya Silaturahmi
Artikulli tjetërPerjuangan Meraih Beasiswa Kuliah (9)
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini