Perjuangan Meraih Beasiswa Kuliah – Banyak yang mengira kalau kuliah dengan beasiswa di Luar Negeri apalagi di Amerika itu menyenangkan. Bisa ya, bisa tidak. Kalau beasiswa yang Anda terima itu lumayan, ya lumayan enak. Tapi kalau beasiswanya “mepet tembok” ya lumayan nggak enak alias remuk redam seperti yang saya alami.
Setahuku stipend dari beasiswa yang disediakan oleh Bank Indonesia, Bank Mandiri, atau Department Keuangan untuk studi master / doktoral di Amerika jauh lebih besar ketimbang beasiswa sekolah yang langsung dari Amerika, apalagi untuk program ilmu-ilmu sosial, tergolong super mini. Beasiswa fullbright juga kecil sekali. Namanya saja yang “full”, realitasnya “nggak full” he he.
Problem atau tepatnya tantangan lain kuliah doktoral di Amerika Serikat jauh berbeda dengan negara-negara lain di Barat. Di banyak negara-negara Barat, termasuk Australia atau negara-negara di Eropa pada umumnya kuliah doktoral bisa dilakukan tanpa harus kuliah alias tinggal riset dan menulis disertasi saja. Istilahnya “PhD by research”.
Karena itu para mahasiwa doktoral yang mengambil studi diluar Amerika Utara (Amerika Serikat dan Kanada) jauh lebih rileks. Bahkan sangking rileksnya, banyak mahasiswa yang bukan mencari ilmu tapi malah sibuk mencari uang dan mengumpulkan dollar he he. Ada juga yang sambil membawa istri/suami untuk “dipekerjakan” di berbagai sektor informal biar menambah penghasilan ha ha. Sehingga mereka kelak kalau pulang setelah selesai menulis disertasi bisa beli rumah, mobil, dlsb.
Tetapi kalau di Amerika, kita tidak bisa dan sama sekali tidak sempat mencari uang karena harus jungkir-balik “kuliah beneran” selama minimal dua tahun penuh untuk mempelajari teori-teori dan berbagai mata kuliah “area studies”. Selama dua tahun, saya dulu juga “digojlok” dengan mengambil 16 Mata kuliah (MK). Jadi 4 MK per semester.
Empat MK per semester ini, cukuplah membuat kepala pusing tujuh keliling karena setiap Minggu “dipelonco” mengerjakan tugas-tugas yang berat. Belum termasuk tugas akhir MK yang berupa tulisan ukuran “artikel jurnal” (15-20 halaman).
Belum lagi harus mengatur uang $500 untuk kebutuhan sebulan supaya cukup menghidupi anak-istri. Ya kami makan seadanya (lah, kalau nggak ada masak dimakan sih?). Yang penting perut kenyang dan bisa hidup sehingga bisa kuliah dan mengerjakan tugas. Yang penting anak-istri juga nggak kelaparan.
Selain kuliah-kuliah teori-teori ilmu sosial dan antropologi serta metodologi yang merupakan “wajib ain”, saya juga mengambil berbagai mata kuliah tentang “antropologi masyarakat Islam” di berbagai negara dan kawasan: Arab Timur Tengah, Iran, Turki, Afganistan, Indo-Pakistan, termasuk Indonesia tentu saja. Selama kuliah doktoral itu, Pak Bob Hefner (Professor Robert W. Hefner) yang betul-betul banyak berperan dalam membangun kerangka-kerangka teoretik dan kajian-kajian antropologi.
Selesai menyelesaikan berbagai MK, tugas berat berikutnya siap menghadang: ujian-ujian komprehensif dan ujian proposal disertasi. Kemudian dilanjutkan dengan riset disertasi minimal setahun dan kemudian penulisan disertasi. Kalau saya dulu ditambah perjuangan mencari beasiswa baru karena beasiswa lama sudah habis. Riset dan penulisan disertasi ini juga memakan waktu lama. Beberapa temanku bahkan sampai 10-an tahun kuliah belum juga wisuda sampai ubanan di kampus he he.
Karena beratnya kuliah doktoral di Amerika ini, khususnya di bidang ilmu-ilmu sosial, maka jangan heran kalau ada yang kuliah terus putus di tengah jalan. Saya dengar dari teman-teman, konon penasehat politik Anies, Eep, dulu juga sempat kuliah master di Ohio tapi juga berhenti di tengah jalan (Bersambung).