Jangan pernah punya anggapan bahwa konflik Saudi-Iran itu sama dengan konflik Arab-Persi apalagi konflik Sunni-Syiah. Saudi/Iran adalah “entitas politik”, Arab/Persi adalah “entitas etnis/suku” dan Sunni/Syiah adalah “entitas keagamaan”. Sebagai entitas politik-pun, Saudi dan Iran -juga negara-negara lain di jagat raya ini- bukanlah “monolitik” dan seragam: aktornya, kebijakannya, kepentingannya dan sebagainya. Semua tergantung kepada siapa yang memegang kekuasaan dan kepentingan temporal apa yang mengitarinya.

Sebelum rezim Khomeini, ketika Iran di bawah kekuasaan Reza Pahlevi, Saudi dan Iran adalah “sahabat sejati”, keduanya “nyusu” kepada “ibu kandung” yang sama: Amerika! Keduanya juga berkoalisi (di bawah komando AS) untuk membendung pengaruh komunisme Soviet di Timur Tengah.

Ketegangan kedua negara mulai terjadi setelah Pahlevi runtuh dan Imam Khomeini yang anti Amerika itu naik menjadi pemimpin revolusi Iran pada 1979. Saudi masih ngeblok Amerika, sementara Iran berkongsi ke Soviet. Merasa mendapat angin, Iran memprovokasi negara-negara lain yang banyak pengikut Syiah-nya (termasuk Saudi) untuk menggalang revolusi. Provokasi ini membuat Saudi meradang dan mulailah babak baru untuk mengontrol Syiah, terutama di kawasan timur Saudi. Para pemimpin Syiah terbelah: ada yang pro-Iran, ada yang pro-Saudi. Tapi itu dulu awal-awal 1980-an.

Raja Fahd dan terutama Raja Abdullah yang dikenal moderat-liberal (keduanya sudah almarhum) membuat kebijakan baru rekonsiliasi dengan Syiah maupun Iran terutama ketika “negeri para mullah” ini dipimpin oleh Khatami yang moderat. Karena banyaknya program-program pemerintah Saudi yang menguntungkan dan memberi ruang positif Syiah, maka tidak heran jika banyak komunitas Syiah di Saudi yang akan membela Saudi ketimbang Iran jika terjadi perang Saudi-Iran. Warga Syiah juga banya yang bergabung dengan Saudi dalam “koalisi nasional” melawan “pemberontak Syiah” di Yaman.

Seperti Saudi dan Iran, Arab/Persi, apalagi Sunni/Syiah, juga bukan “entitas monolitik”. Sebagaimana Sunni yang warna-warni, Syiah itu juga banyak jenisnya, banyak kepentingannya, banyak suku-etnisnya, banyak cara pandangnya dan sebagainya. Jangan pernah punya pandangan bahwa Syiah itu “tunggal”, Sunni itu “satu”. Semua itu hanya ada di alam mitos, hanya ada di negeri dongeng. Persis seperti dongengnya Samuel Huntington tentang “benturan peradaban”. Karena itu masyarakat Indonesia, saya wanti-wanti, jangan mau dibodohi oleh para “cukong-cukong politik-agama” untuk membenturkan Sunni-Syiah di Tanah Air!

Kalian jangan mau digiring oleh orang-orang yang hati dan pikirannya dipenuhi oleh “kotoran kebencian” terhadap sesama manusia. Biarlah urusan politik dalam negeri di Timur Tengah menjadi urusan mereka, jangan sampai dibawa-bawa ke negeri tercinta Indonesia. [SQ]

Artikulli paraprakNasionalisme Syiah Saudi
Artikulli tjetërOman: Rezim “Islam Ibadi” di Timur Tengah
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini